Kelumpuhan Pendidikan Politik Kita
Kita perlu memprioritaskan revitalisasi pendidikan politik, menanamkan nilai pemikiran kritis, toleransi, simpati, dan empati.
Pemilihan Umum Presiden 2024 segera tiba dan dijadwalkan berlangsung pada 14 Februari 2024. Terdapat tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang bersaing dalam pesta demokrasi tersebut.
Sebagai warga negara yang mengamati proses politik hari ini, sering kali saya menyaksikan orang-orang terjebak dalam ketidaktahuan dan ketidakpedulian terhadap dinamika politik yang membentuk masa depan bangsa kita. Apakah orang-orang benar-benar menyadari situasi ini? Mengapa masih ada pihak-pihak yang terlibat dalam ranah politik tanpa pemahaman yang memadai dan justru merusak?
Persatuan yang dahulu kita anggap remeh, persatuan yang menopang masyarakat dan institusi kita, kini perlahan tercerai-berai karena ulah orang-orang yang tak bertanggung jawab. Disintegrasi ini bukanlah hasil dari kekuatan eksternal, melainkan hasil dari perpecahan internal, perpecahan ideologis, dan penyebaran retorika tak kenal kompromi dan polarisasi.
Lanskap politik menyerupai medan perang, di mana senjata yang digunakan bukanlah pedang dan senjata, melainkan kata-kata, misinformasi, dan disinformasi yang kian menggeliat. Orang-orang berada di tengah-tengah perang kata-kata dan ideologi yang tiada hentinya. Alhasil, dialog menjadi hampir punah.
Baca juga: Dilema Pendidikan Politik di Indonesia
Akar dari persatuan yang hancur ini dapat ditelusuri kembali ke pendidikan politik kita, atau lebih tepatnya, kurangnya pendidikan politik bagi warga negara. Fondasi utama dari demokrasi yang berfungsi baik terletak pada partisipasi warga negara yang terinformasi dan rasional. Namun, kondisi pendidikan politik dalam masyarakat kontemporer kita saat ini sangat tidak memadai.
Sistem pendidikan kita, jauh dari memupuk pemikiran kritis dan tanggung jawab kewarganegaraan, sering kali lebih mengutamakan hafalan dan kepatuhan semata. Pengembangan pemikiran independen, kemerdekaan berpikir, dan keterampilan yang diperlukan untuk menavigasi kompleksitas politik modern, dalam banyak kasus, sangat terabaikan.
Pengabaian pendidikan politik ini telah memunculkan masyarakat yang tidak mampu membedakan fakta dan fiksi, kebenaran dan propaganda. Zaman di mana informasi berlimpah-limpah, informasi yang salah terus berkembang biak, tidak terkendali oleh pikiran cerdas yang seharusnya dapat ditumbuhkan melalui pendidikan politik yang kuat. Konsekuensinya sangat mengerikan: terkikisnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga pemerintah, kepada para pejabat publik, dan munculnya para demagog yang memanipulasi massa, dan berlanjutnya kebijakan-kebijakan yang didasarkan pada kekeliruan dan bukan kepada nalar.
Pertarungan tanpa henti
Tontonan lainnya, pertarungan tanpa henti antara para elite politik, yang saling berlomba untuk merebut simpati publik. Pertengkaran mereka bukan hanya benturan ideologi, melainkan juga pertarungan visi, nilai, dan sikap yang kontras yang memiliki kekuatan untuk membentuk nasib bangsa yang rumit ini.
Ketika saya mengamati tontonan ini dari layar, saya diingatkan akan paradoks abadi yang mengganggu umat manusia dalam pencarian abadi akan pemerintahan dan ketertiban. Di negeri yang beragam, dengan berbagai macam bahasa, agama, dan etnis, perjuangan untuk menjaga keharmonisan di tengah heterogenitas seperti itu merupakan tugas yang amat sangat berat. Memang, fondasi politik kita berada di atas jurang, perpecahan yang berbahaya mengancam untuk membawa bangsa ini ke dalam ancaman kekacauan.
Para elite politik, mereka yang memegang tampuk kekuasaan, terlibat dalam adu mulut mereka dengan penuh semangat dan berapi-api. Mereka berusaha memanfaatkan sentimen massa dan menerjemahkannya ke dalam tindakan politik. Mereka juga sering kali memanfaatkan berbagai platform media sosial dan berita untuk mengampanyekan pandangan mereka. Mereka menggunakan berita palsu, retorika provokatif, serangan personal, dan politik identitas untuk mencoba menggoyang keyakinan publik dan meraih dukungan. Di tengah kekacauan dan hiruk-pikuk suara-suara yang saling bersaing, jalinan sosial dan politik Indonesia direnggangkan hingga ke batas-batasnya.
Tidak ada pemandangan yang lebih menyedihkan daripada kelumpuhan pendidikan politik kita.
Namun, kelumpuhan pendidikan politik kita melampaui dinding-dinding ruang kelas kita hari ini. Hal ini merembes ke lanskap media, di mana sensasionalisme sering kali mengalahkan substansi. Siklus berita 24 jam, dengan fokusnya yang tak henti-hentinya pada kontroversi dan konflik, telah menjadi teater peperangan ideologis, di mana nuansa dan kedalaman dikorbankan demi rating belaka. Dalam lingkungan seperti itu, analisis yang bijaksana dan wacana yang beralasan dikesampingkan demi polemik dan soundbite.
Selain itu, era digital telah mengantarkan era baru dalam penyebaran informasi, di mana algoritma mengkurasi realitas kita dan menyaring umpan berita kita berdasarkan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya. Hal ini juga berkontribusi pada kelumpuhan pendidikan politik kita, karena memperkuat ruang gema dan mengisolasi individu-individu dari perspektif yang beragam.
Perlu dicatat bahwa kondisi persatuan yang retak dan kelumpuhan pendidikan politik kita bukanlah fenomena yang tidak saling terkait satu sama lain. Yang pertama memperburuk yang kedua, karena masyarakat yang terpecah belah cenderung tidak memprioritaskan pengembangan basis pengetahuan politik bersama sehingga dapat merusak tatanan sosial kita. Oleh karena itu, ini adalah lingkaran setan, sebuah ”malaise” yang melanggengkan diri sendiri, yang mengancam dasar-dasar masyarakat demokratis kita.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, kita harus segera mencari solusi. Kita perlu memprioritaskan revitalisasi pendidikan politik kita, menanamkannya dengan nilai-nilai pemikiran kritis, toleransi, simpati, dan empati. Kita harus menantang retorika yang memecah belah dan mencari titik temu. Kita perlu meminta pertanggungjawaban media massa untuk melakukan jurnalisme yang bertanggung jawab dan menolak daya tarik sensasionalisme. Kita harus menuntut transparansi dan integritas dari para pemimpin dan lembaga-lembaga kita.
Baca juga: Pendidikan Politik di Sekolah
Maka, kondisi persatuan yang terkoyak bukanlah takdir yang tak dapat diubah, melainkan produk dari pilihan dan tindakan kita sebagai warga negara. Meskipun tugas yang kita hadapi sangat besar, hal itu tidak berarti bahwa kita tidak mampu mengatasinya. Di tengah-tengah masa sulit seperti saat ini, ketika bangsa kita sedang berusaha maju, penting bagi kita untuk memperbaiki keretakan yang ada dalam masyarakat kita dan mengembalikan persatuan yang begitu penting bagi cita-cita demokrasi yang telah lama kita anut.
Dengan demikian, tidak ada pemandangan yang lebih menyedihkan daripada kelumpuhan pendidikan politik kita. Seperti kegelapan yang menghalangi cahaya kebijakan dan partisipasi, kelumpuhan ini menghambat pertumbuhan masyarakat yang cerdas dan berdaya tahan kuat. Untuk membangun masa depan yang lebih baik, kita harus menjadikan pendidikan politik sebagai pijakan kuat yang memungkinkan kita untuk bergerak maju bersama menuju pencerahan demokrasi dan partisipasi warga negara.
Roy Martin Simamora, Dosen Filsafat Pendidikan PSP ISI Yogyakarta