Menitipkan Kota-kota pada (Calon) Presiden dan Wakil Presiden
Di perkotaan, pemilik suara terbesar berada. Ironisnya, isu kota belum dianggap serius untuk diangkat sebagai program prioritas dan bahan kampanye yang efektif oleh capres-cawapres juga calon wakil rakyat.
Entah mengapa pemikiran tentang pemilu, politisi, dan kota itu membawa memori saat beberapa bulan lalu jalan-jalan keliling Berlin di Jerman. Kota itu tertata, banyak ruang publik di antara bangunan kuno dan modern.
Seiring sisi menawannya itu, di mana-mana mudah bertemu warga asing. Namun, banyak pula tunawisma. Bagi Aldo dan Ary, warga Indonesia yang menetap sementara di Jerman, kondisi Berlin yang lebih ramai itu terasa setidaknya baru sejak 4-5 tahun silam.
”Terutama setelah pengungsi banyak datang dari negara lain. Ya setelah perang-perang banyak terjadi itu,” kata Aldo, mahasiswa di salah satu kampus di Berlin, saat menemani jalan-jalan.
Baca juga: Biaya Hidup Tinggi Menggerus Kebahagiaan Keluarga di Perkotaan
Walaupun Jerman sangat memperhatikan kesejahteraan pengungsi, tidak semua imigran segera mendapat tempat penampungan. Proses mendapat izin tinggal tak selalu lancar. Pekerjaan atau bantuan tak selalu tersedia, terlebih bagi pendatang ilegal.
Membeludaknya imigran itu mau tidak mau tumpah sampai ke jalan dan ruang publik. Hal itu memicu gesekan sosial di beberapa lokasi.
Soal keamanan, menurut Aldo dan Ary, di Berlin masih sangat baik dan terkendali. Namun, Ary, yang seorang perempuan dan baru merintis karier di sana, memilih pulang sebelum hari gelap.
Dari kacamata anak muda yang lahir dan besar di Indonesia, belajar di Berlin dan kota-kota di negara maju lain adalah pengalaman tak ternilai. Bekerja di kota modern rujukan dunia itu berarti ada kepastian standar upah tinggi, jam kerja pasti, dan fasilitas lain, seperti cuti, juga jaminan kesehatan.
”Jadi, di sini serba jelas dan pasti asal kita (warga atau pendatang) sesuai aturan. Gaji itu pasti bisa mencukupi kebutuhan. Akomodasi tempat tinggal dan makan jauh lebih mahal dibandingkan Jakarta, tetapi transportasi publik murah dan bisa akses ke mana saja,” kata Ary.
Baca juga: Kelas Menengah Aspirasional adalah Kita, Berhati-hatilah...
Menurut mereka, di Indonesia, standar upah pekerja dan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja sudah ada, tetapi implementasinya masih dipertanyakan.
Aturan pemberian upah minimum di Indonesia seharusnya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja di bawah satu tahun. Realisasinya, banyak pekerja diperpanjang kontrak kerja dengan status karyawan baru setiap tahun dan terus menerima upah minimum.
Mereka yang ingin mengabdikan diri sebagai peneliti, guru, atau dosen harus bersiap-siap bergaji tak setinggi gelar hasil studi bertahun-tahun. Sedih.
Fasilitas timpang
Aldo dan Ary merasa Berlin menjanjikan, tetapi masih berharap kelak bisa berkarier di tanah kelahirannya dengan pekerjaan dan gaji layak.
Baca juga: Kantormu Bukan Keluargamu
Apalagi, mereka melihat kota-kota di Jerman tak jauh berbeda dengan kawasan tempat tinggal mereka di Indonesia.
”Bedanya, di Indonesia pasti bakal lebih banyak pakai mobil daripada bus atau kereta,” kata Ary sembari tertawa.
Aldo tinggal di salah satu kawasan elite di Jakarta Utara, sementara Ary di kota mandiri besutan swasta di Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
Di kota swasta terbesar di Serpong, misalnya, sejak awal telah ada taman kota, akses jalan bagus, serta pasar tradisional yang dikelola lebih bersih dan nyaman.
Baca juga: Gengsi-gengsian SCBD Versus Cikarang
Walaupun berada di wilayah Kota Tangerang Selatan, pihak pengembang bekerja sama langsung dengan pihak lain untuk penyediaan air bersih serta pemerintah daerah lain untuk pengelolaan sampah.
Kekuatan uang dibarengi cara pengelolaan yang mengedepankan pemenuhan layanan dasar warga dipraktikkan oleh pengembang kota swasta mandiri.
Fenomena itu menjadi gejala umum di Indonesia yang menjadi daya tawar untuk menggaet golongan menengah ke atas. Kota swasta di dalam kota eksisting atau kota induk dengan kualitas layanan yang jauh berbeda menjadi hal jamak di Indonesia.
Baca juga: Simbiosis Mal, ”Wota”, ”Wibu”, dan Beragam Subkultur Kota
Ketimpangan memang terjadi di mana saja. Sama seperti Berlin, kota-kota besar di Indonesia dipusingkan dengan urbanisasi atau perkembangan kota khususnya karena pertambahan penduduk dari luar daerah.
Jadi, di sini serba jelas dan pasti asal kita (warga atau pendatang) sesuai aturan. Gaji itu pasti bisa mencukupi kebutuhan.
Hanya saja, di kota-kota maju dunia, layanan dasar, seperti ketersediaan air bersih, sampah, transportasi publik, dan kesehatan, menjadi pekerjaan wajib yang dipenuhi oleh pemerintah untuk semua warganya.
Di Indonesia, sampai sekarang, pemenuhan fasilitas dasar perkotaan masih rendah.
Sepanjang tahun ini saja kebakaran besar melanda beberapa tempat pembuangan akhir (TPA), seperti di Kota Bandung di Jawa Barat, di Kota Tangerang di Banten, dan di Kota Semarang di Jawa Tengah.
Kebakaran TPA itu membuka borok kota-kota yang mempraktikkan pembuangan sampah terpusat dengan sistem terbuka alias sekadar ditumpuk saja.
Baca juga: Kisah Trotoar Terentang dari Anatolia sampai Jakarta
Gunung sampah di TPA kian besar dan meluas seiring minimnya pengolahan dan pengelolaan sampah di hulu di tingkat rumah tangga hingga di hilir di tingkat kota/kabupaten.
Padahal, sudah ada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah diikuti Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Lima tahun kemudian, ada Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Namun, hingga kini masih teramat sedikit warga yang memahami dan memilah serta mengolah sampah di tingkat rumah tangga.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Pemerintah kota berkelit seolah tak berdaya ketika TPA-nya penuh atau bermasalah. Pemerintah cenderung menyalahkan warganya karena tak memilah dan mengolah sampah. Padahal, program pendampingan warga serta penyediaan fasilitas pendukung paling baru sebatas proyek percontohan.
Inisiasi pemerintah pusat bersama pemerintah daerah untuk membangun pengolahan sampah modern di perkotaan terbilang minim dan berjalan lamban.
Indonesia kini justru gencar membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) yang digadang-gadang menjadi kota supermodern dan ramah lingkungan. IKN akan menerapkan ekonomi sirkular yang berarti mengelola sampah sampai tidak tersisa dan tidak merusak lingkungan.
IKN kelak diharapkan menjadi model pembangunan kota di Indonesia. Bisakah semudah itu mengungkit pembangunan kota dari Sabang sampai Merauke dengan satu rujukan saja?
Pemilu 2024
Padahal, kota-kota yang berkembang pesat kini telah menjadi tempat hidup lebih dari 50 persen penduduk di Indonesia yang juga menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi. Di kota-kota pula tempat pemilik suara terbanyak berada, ceruk potensial bagi para calon presiden dan wakilnya juga bagi para calon wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah.
Sayangnya, di tengah keriuhan kontestasi Pemilihan Umum 2024 saat ini, para politisi belum terlalu menganggap serius isu perkotaan. Mereka tidak maksimal menggunakan masalah yang dekat dengan warga kota sebagai sarana edukasi publik sekaligus kampanye yang efektif.
Meskipun demikian, pemilu tetaplah peluang baru untuk menitipkan aspirasi pada para politisi yang tengah berebut suara dan posisi. Walau sulit optimistis, tetaplah berharap saja kelak yang terpilih berpihak pada publik dan mampu menyelesaikan isu perkotaan yang berakar menahun. Semoga.
Baca juga: Catatan Urban