logo Kompas.id
OpiniMemunyai Jilid Dua
Iklan

Bahasa

Memunyai Jilid Dua

Sebagian ahli bahasa menyebut ”mempunyai”, dan bukan ”memunyai”, sebagai bentuk kekecualian. Kata ini sesungguhnya mengalami proses disimilasi. Bunyi /p/ pada ”mempunyai” yang biasanya luluh justru dikekalkan.

Oleh
YANWARDI
· 1 menit baca
Situ Tunggilis, Desa Situsari, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (10/9/2023) mempunyai luas 35,50 hektar. Kata <i>mempunyai</i> meski berasal dari awalan <i>me-</i> dan kata <i>punya </i>atau berawalan huruf <i>p,</i> tidak luluh menjadi <i>memunyai</i>.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Situ Tunggilis, Desa Situsari, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (10/9/2023) mempunyai luas 35,50 hektar. Kata mempunyai meski berasal dari awalan me- dan kata punya atau berawalan huruf p, tidak luluh menjadi memunyai.

Gejala kebahasaan dalam tataran morfologi, yakni sistem morfofonemik bahasa Indonesia, ketimbang gejala kebahasaan lainnya tampak lebih menonjol dinamikanya, apalagi yang terkait dengan verba berawalan me-. Salah satu faktor penyebabnya adalah produktivitas awalan tersebut dalam membentuk kata turunan. Pengamat bahasa dan ahli bahasa, konsekuensinya, mau tak mau sering menyoroti atau membahas ihwal itu pula.

Beberapa waktu yang lalu dalam harian ini secara deskriptif saya pernah menulis tentang kata mempunyai. Tepatnya, mengapa dalam mempunyai bunyi atau fonem /p/ tidak luluh, sebagaimana dalam memukul dan memaku, misalnya. Hukum KPST seolah-seolah dilanggar di sana.

Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 5 dengan judul "Memunyai Jilid Dua".

Baca Epaper Kompas
Terjadi galat saat memproses permintaan.
Artikel Terkait
Belum ada artikel
Iklan