Sastra (dan) Pilpres
Hampir tak ada pemikir besar yang tak mengapresiasi puisi, baik ia menulis puisi atau tidak.
Ketika pasangan bakal calon presiden 2024 kian getol memenuhi ruang-ruang publik, saya teringat dokter spesialis kanker Siddhartha Mukherjee. Dia menulis, ”Menamai suatu penyakit adalah menggambarkan kondisi penderitaan tertentu—tindakan kesastraan sebelum tindakan medis. Seorang pasien, lama sebelum ia menjadi subyek pengawasan medis, pertama-tama adalah pendongeng, narator penderitaan—pengembara yang telah mengunjungi kerajaan sakit. Maka, untuk meredakan sakit, seseorang mesti mulai dengan bercerita.”
Begitu seseorang, begitu bangsa-bangsa. Jika ingin sembuh, waras, bangsa kita mesti mulai dengan bercerita. Sumbernya beragam cerita rakyat, bukan karangan segelintir elite. Dan jika ingin memimpin bangsa, seseorang lebih dulu mestilah pengembara yang telah mengunjungi kerajaan sakit bangsanya. Pengalaman ini modal utama pencerita mumpuni bangsa dan cerita bersambungnya paduan suara ratusan juta warga.