Realitas Polarisasi Politik
Polarisasi politik sah dalam demokrasi. Namun, elite harus berhenti menggunakan narasi politik yang bersifat antagonistik seperti mengeksplorasi politik identitas secara tajam kepada masyarakat pada strategi kampanye.
Tulisan ini hendak menyanggah argumentasi Whinda Yustisia di artikelnya yang berjudul βIlusi Polarisasi dan Ancaman Instabilitasβ yang tayang di rubrik opini kompas.id pada Senin (3/7/2023). Dalam analisisnya, Whinda berpendapat apabila polarisasi politik yang terjadi di Indonesia cenderung lebih terlihat ilusi daripada sebagai suatu realitas yang eksis. Pada bagian akhir, ia menyarankan agar elite politik berhenti mengamplifikasi narasi adanya polarisasi politik agar tidak terbentuk persepsi di masyarakat yang justru akan benar-benar mengancam stabilitas sosial politik secara lebih luas.
Terlepas dari metodologi yang digunakan dalam analisis tersebut, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada penulis, saya berpendapat bahwa pandangan atas polarisasi politik yang terjadi pada beberapa momen elektoral terakhir hanya merupakan ilusi berpotensi membawa diskursus demokrasi kita mengarah kepada proses trivialisasi (pendangkalan). Pengamatan yang berporos kepada polarisasi berbasis ideologi seolah mengabaikan fakta bahwa lanskap politik Indonesia telah sejak lama mengalami deideologisasi baik secara kelembagaan partai politik hingga proses pemilihannya.