Plaza Senayan
Maka jelas, mal bukanlah sekadar lokus ekonomi tempat jual-beli barang, melainkan juga arena provokasi pikiran, jangkar dari sensasi dan memori, tak heran dulu pernah dijuluki “katedral modernisme”.
Cukup lama saya tidak jumpa Ariel Heryanto, profesor emeritus yang pernah mengajar di sejumlah universitas di Australia. Sejak pandemi, baru bulan lalu ia ke Jakarta bersama istrinya, Yanti. Dia mengajak saya dan Vivi bertemu, makan siang di Plaza Senayan. Ia juga undang Sarie, teman yang belum lama ketemu dengannya di Melbourne.
Bersamanya segala sesuatu segera direfleksikan untuk menggambarkan sebuah gejala sosial lebih luas selain kadang untuk menertawakan diri sendiri. Ketika saya katakan bahwa pada zaman serba online ini bertemu dan reriungan tiba-tiba bisa menjelma menjadi sebuah peristiwa budaya, ia menyambar, terlebih di mal—tonggak penting modernisme.