Melampaui Proporsional Terbuka dan Tertutup di Pemilu
Selama desain pemilu proprosional tertutup atau terbuka tidak memiliki akar politik yang kuat di level warga, selama itu pula kita akan terus menyederhanakan masalah-masalah politik representasi sebagai persoalan teknis.
Diskusi soal pemilu membelah publik dalam perspektif yang terbatas, standar demokrasi di pemilu dipersempit kepada pilihan-pilihan kelembagaan—proporsional terbuka atau tertutup secara hitam putih. Hampir tidak ada narasi alternatif yang keluar dari dikotomi tersebut. Setidaknya mendorong perspektif dari bawah untuk menyoal representasi politik warga negara di pemilu.
Pemilu tidak hanya momen prosedural, tetapi juga pintu masuk untuk memperkuat posisi warga negara dalam berinteraksi dengan elite dan partai terpilih. Misalnya, jika mekanisme proporsional terbuka atau tertutup diterapkan, apa dampak perubahan sistem pemilu bagi warga negara? Bagaimana dua mekanisme tersebut benar-benar mengakomodasi kepentingan warga negara dan menjamin bahwa kepentingan tersebut tidak akan dibelotkan oleh elite maupun partai politik? Atau sejauh mana kontrol warga terhadap partai politik atau elite dimungkinkan jika salah satu dari kedua sistem itu diterapkan?