Merdeka dari Intoleransi dengan Tunggal Ika
Kesadaran tunggal ika atau kesatuan menjadi kunci untuk merawat toleransi. Makna tunggal ika ini selaras seutuhnya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan, dimensi ketunggal-ikaan ini ada di kitab suci agama-agama.
Adalah Mohammad Yamin, pahlawan yang mengusulkan frasa Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan NKRI yang kemudian diresmikan pada 17 Oktober 1951. Mengingat Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim, sangat unik bahwa negara ini menggunakan semboyan kenegaraan yang justru disarikan dari kitab Sutasoma, warisan tradisi Hindu-Buddha Nusantara.
Di satu sisi, kebanggaan kita akan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini terwujud di beberapa kota di Indonesia yang memiliki indeks toleransi tinggi, seperti Salatiga, Singkawang, Manado, dan beberapa kota lain, sebagaimana dipaparkan dalam hasil penelitian Setara Institute tahun lalu. Kota-kota tersebut memiliki kebijakan pembangunan yang kondusif untuk praktik dan promosi toleransi. Namun, di sisi lain, idealisme semboyan ini masih belum sepenuhnya terwujud seiring masih banyak ditemukannya praktik intoleransi di negara kita.