logo Kompas.id
OpiniKi Manteb dan Perang ”Brubuh”
Iklan

Ki Manteb dan Perang ”Brubuh”

Ki Manteb Soedarsono sudah kembali berkumpul dan ”mendalang” bareng di kayangan bersama bapak-ibu serta kedua kakeknya. Wayang tak mungkin mati. Apalagi, wayang kulit Jawa bisa dikaitkan dengan dunia riil Indonesia.

Oleh
HERI PRIYATMOKO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/FQ2YPcI8MD0mlpkRA3YJKDpHsaY=/1024x631/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F07%2F20210702-OPINI-Ki-Manteb-dan-Perang-Brubuh_1625236573.jpg
KOMPAS/SUPRIYANTO

Supriyanto

Embun sedang giat-giatnya mengeramasi dedaunan di Dusun Jatimalang, Desa Palur, Sukoharjo, Jawa Tengah. Menjelang subuh, di saat orang asyik menarik selimut menepis rasa dingin, dari rahim Sudarti mbrojol bayi merah hasil perkawinan dengan Ki Hardjo Brahim Hardjowiyono. Selasa Legi tanggal 31 Agustus 1948, bocah ini melihat terangnya jagad cilik (bumi). Tanpa banyak cingcong, suami-istri tersebut memberi tetenger buah hati dengan nama Manteb. Nama ringkas itu di-templok-kan dengan kemantaban hati lantaran kedua pasangan ini memikul kerinduan selama satu dekade untuk berjuang memperoleh momongan.

Manteb diasuh dalam ekologi perdesaan yang ayem tentrem. Dalam tubuh anak ini mengalir darah seniman. Pasalnya, bapaknya berprofesi sebagai dalang, ibunya juga dalang plus penggender jempolan. Ditarik ke atas lagi, bocah yang kelak bernama lengkap Ki Manteb Soedharsono itu merupakan cucu dari dua  dalang beken di eranya. Kakek dari ayah ialah Ki Djarot Hardjowiguno, sedangkan kakek dari ibu bernama Ki Gunawan Gunowihardjo asal Tepus, Majagedang, Karanganyar. Maklum jika dalang yang kondang dengan sabetan maut tersebut mencintai wayang sedari bocah.

Editor:
yovitaarika
Bagikan