logo Kompas.id
OpiniBipang, Jokowi, dan Lebaran
Iklan

Bipang, Jokowi, dan Lebaran

Lebaran telah menjadi ritus sosial nasional yang tak hanya milik umat Islam. Karena itu, pidato Presiden yang menyebut bipang ambawang akan dapat disikapi lebih arif jika kita melihat perayaan Idul Fitri sebagai Lebaran.

Oleh
HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/GSTKZkBNQ9VEA64M3dl87GcvgPM=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F06%2F20180618_TRADISI_A_web.jpg
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga menggelar tradisi Sungkem Tlompak yang biasa dilakukan seusai Lebaran di Desa Gejayan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (18/6/2018). Lebaran tak sekadar perayaan keagamaan, tetapi menjadi tradisi yang melibatkan warga lintas agama.

Pada tahun 1954, Clifford Geertz, seorang antropolog Amerika Serikat, melakukan penelitian di Mojokuto (Pare), sebuah kota kecil di Jawa Timur. Geertz sempat menyaksikan perayaan Idul Fitri di kota itu, yang lebih dikenal dengan istilah Riyaya.

Dalam bukunya, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Pustaka Jaya, 1981), Geertz menulis bahwa dalam Riyaya tersebut, ”abangan, santri, priayi, nasionalis yang bersemangat maupun nasionalis yang sudah menipis, petani, pedagang, dan kelerek (klerek/pegawai rendahan), orang kota dan orang desa, semua bisa menemukan jenis lambang yang cocok buat mereka dalam pesta rakyat yang paling sinkretik ini. Sinkretisme ini, toleransi yang lancar dalam keanekaragaman agama dan ideologi ini, …merupakan karakter kebudayaan Jawa yang fundamental....” (hal 506).

Editor:
yovitaarika
Bagikan