logo Kompas.id
OpiniSejarah Kota dalam Lirik Lagu
Iklan

Sejarah Kota dalam Lirik Lagu

Syair lagu merupakan sumber sejarah dan penjaga ingatan. Bait yang disenandungkan adalah kaca benggala bagi penguasa kota yang mencabik-cabik ruang publik. Seperti taman Sriwedari yang kini mengalami kehancuran.

Oleh
HERI PRIYATMOKO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/hKBTfzutM5tAo_b46OIBPmwspx4=/1024x1005/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FWhatsApp-Image-2021-01-01-at-2.28.19-PM_1609488010.jpeg
TANGKAPAN LAYAR SAMPUL ALBUM RATU KEMBANG KATJANG

Waljinah, S Harti, dan S Bekti dalam sampul album Waldjinah Ratu Kembang Katjang rekaman Lokananta, Solo, yang mengangkat nama Waljinah sebagai penyanyi keroncong.

Menunggu bedug Magrib di bulan Ramadan enaknya leyeh-leyeh seraya rengeng-rengeng (menyanyi lirih). Tembang lawas tak kalah larasnya dibandingkan lagu masa kini. Selain menumbuhkan ketentraman batin, seringkali tembang itu melemparkan ingatan kita pada sepotong masa. Kegembiraan merekah di palung hati tatkala lagu tersebut merekam kahanan (keadaan) daerah yang punya ikatan batin dengan kita.

Saya teringat syair lagu keroncong berkepala “Solo Diwaktu Malam“ anggitan Sri Widadi. “Gamelan penuh irama, Solo diwaktu malam hari, Suara seni jang meraju-raju, Meresap dan mendalam dihati, Menawan sanubari,” demikian cuilan syairnya. Ia bukan teks biasa, namun dokumen sejarah untuk melongok situasi Surakarta periode prakemerdekaan.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan