logo Kompas.id
OpiniGenerasi Tunasejarah dalam...
Iklan

Generasi Tunasejarah dalam Pergumulan Kebudayaan

Generasi ”silam” perlu melakukan pertobatan dengan menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini akan semakin kokoh karena sikap respek antarwarga, yang ditumbuhkan sejak dari keluarga hingga sekolah.

Oleh
SUWARNO WISETROTOMO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/95KUxK_h74MuDZKIbatT6s43_ms=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_15586990_143_3.jpeg
Kompas

Peserta yang terdiri dari siswa dan mahasiswa mengikuti rangkaian kegiatan Jelajah Sejarah dan Budaya Kuliner Semarang dengan mencoba makanan khas Belanda, seperti di Toko Oen, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (7/8/2015). Mereka mempelajari sejarah ragam budaya melalui pendekatan kuliner dengan akulturasi yang menyatukan di dalamnya.

Sebutan ”tunasejarah” sesungguhnya sejenis tudingan yang bersifat generik, ketika bercakap dengan orang-orang muda (usia 19-25), antara lain ketika berada di ruang kuliah. Ketika membicarakan topik tertentu, dengan menyebut sejumlah kata atau nama kunci, berharap mereka dalam lingkaran kelas itu langsung nyambung dan tersambung dengan peristiwa serta makna tertentu.

Misalnya, menyebut nama Affandi, Oesman Effendi, S Sudjojono, Basoeki Abdullah, Hendra Gunawan, Rusli, Dullah, Nashar, Zaini, Bagong Kussudihardja, Hamka, Chairil Anwar, Rendra, Teguh Karya, Chaerul Umam, Suka Harjana, Harry Roesli, Djaduk Ferianto, dan sederet nama legenda lainnya; atau menyebut Mooi Indie, Persagi, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) Indonesia, abstrak ekspresionisme, formalisme, seni media baru, pop art, seni publik, seni politik, dan lainnya, dengan harapan, sesuai minat masing-masing, mereka dapat menjelaskan siapa, apa, mengapa, bagaimana, di mana sosok, tokoh, dan peristiwa itu.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan