logo Kompas.id
OpiniJempol sebagai Mulut
Iklan

Jempol sebagai Mulut

Meski mulut kita mengering dan menganga sepanjang masa atau mulut kita dikebat erat-erat oleh masker (entah sampai bila), bukankah jempol tetap leluasa menjalankan kerja mulut?

Oleh
DAMHURI MUHAMMAD
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/dd228gmI4xgc7w4M2zNOkdPnE64=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2Fbe38c844-da2c-47ad-be28-5f79bce6b178_jpg.jpg
Kompas/Priyombodo

Dekorasi manekin bermasker dan mengenakan pelindung wajah di gerai pakaian di salah satu pusat perbelanjaan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, Selasa (13/10/2020).

Pada 2015, Putu Wijaya memanggungkan lakon monolog berjudul Mulut. Berkisah tentang seorang perempuan desa yang tak punya mulut. Di bawah hidungnya kosong, tak ada bibir. Tak ada yang tahu apakah ia punya gigi dan lidah di balik wajah yang bagai terkunci itu. Dalam situasi tunamulut, ia membuat bingung warga. Sepasang matanya membelalak seperti mata ikan koki, tetapi kerlingannya tajam seperti cakar harimau.

Hidungnya mancung, tetapi tidak kepanjangan seperti Petruk. Wajah dan air mukanya sangat cantik. Tukang siomai bilang, tanpa mulut, ia justru seperti bidadari. Siapa saja yang memandangnya dengan bebas dan rahasia dapat membayangkan dalam angan-angan, jenis mulut yang ia sukai. Pada wajahnya yang begitu luwes, diberikan mulut apa pun cocok. Mulut dower, mulut monyong, atau yang sedikit nyakil pun cocok.

Editor:
yohaneskrisnawan
Bagikan