UU ITE
Kebijakan Kriminal dan UU ITE
Mengapa Undang-undang ITE yang juga mengandung pengaturan tentang “cybercrime” dituduh telah menjadi instrumen pemidanaan. Apa yang salah? Di sinilah orang harus mulai memikirkan kebijakan kriminal.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F996afa62-852c-4500-9539-b4ff8ac7b4fd_jpg-1.jpg)
Ketua Tim Perumus RKUHP Muladi bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ( Menkumham) Yasonna Laoly memberikan klarifikasi sejumlah pasal dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( RKUHP) yang menjadi perhatian publik kepada para jurnalis di Kantor Kemenkumham Jakarta, Jumat (20/9/2019). Pemerintah bersama DPR sepakat untuk menunda pengesahan RKUHP karena banyaknya pasal yang kontroversial dan dinilai oleh sejumlah kalangan bisa mengancam demokratisasi di Indonesia.
Penegakan hukum yang semata-mata bersifat represif tanpa memerhatikan pendekatan preventif akan bertentangan dengan hakikat dan kodrat kejahatan yang bersumber dari masyarakat.
Harian Kompas (23/9/2019) halaman 3, dalam rubrik "Kilas Politik dan Hukum" memberitakan, sejak berlaku pada 2008, jumlah kasus tindak pidana yang terkait dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terus meningkat dari tahun ke tahun. Sejak 2017 hingga 2019 saja, total 6.895 orang sudah diselidiki Polri dengan rincian 38 persen terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik; 20 persen terkait dengan penyebaran tipuan; 12 persen terkait pidato kebencian; dan sisanya tindakan lain.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Kriminal dan UU ITE".
Baca Epaper Kompas