Transisi Energi ke Biomassa Berpotensi Memicu Deforestasi
Kebijakan transisi energi perlu dievaluasi agar lebih demokratis dan berkeadilan, serta tidak memicu deforestasi.
![Truk menurunkan cangkang sawit yang digunakan untuk campuran bahan bakar batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). PLTU Sintang salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar <i>co-firing,</i> dalam hal ini cangkang sawit yang besar.](https://cdn-assetd.kompas.id/BFb-UTzumqLfbxG8VQbU_8CnaOY=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F22%2F20211012ags170_1634886935_jpg.jpg)
Truk menurunkan cangkang sawit yang digunakan untuk campuran bahan bakar batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sintang, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Selasa (12/10/2021). PLTU Sintang salah salah satu lokasi yang memiliki ketersediaan bahan bakar co-firing, dalam hal ini cangkang sawit yang besar.
BANJARMASIN, KOMPAS โ Transisi energi dari energi fosil ke energi baru terbarukan berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. Deforestasi mengancam hutan alam karena tuntutan pemenuhan biomassa dari kayu melalui penyediaan hutan tanaman energi. Kebijakan transisi energi perlu dievaluasi agar lebih berkeadilan.
Laporan Forest Watch Indonesia (2023) menyebutkan, pembangunan hutan tanaman energi (HTE) mengakibatkan kehilangan hutan alam seluas 55.000 hektar serta 420.000 hektar hutan alam yang tersisa terancam dirusak atau mengalami deforestasi. Riset Trend Asia (2023) juga menyebut transisi energi akan menimbulkan โutang emisiโ karena pembakaran biomassa.