Beragam Tantangan Mahasiswa di Yogyakarta Saat Ingin Menggunakan Hak Suara
Sulit mengurus pindah memilih hingga bingung menentukan pilihan menjadi masalah yang dihadapi mahasiswa di Yogyakarta.
Sejumlah mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghadapi beragam tantangan saat ingin menggunakan hak suaranya dalam Pemilu 2024. Kesulitan mengurus pindah memilih hingga bingung menentukan pilihan menjadi masalah yang mereka alami.
Kesulitan mengurus proses pindah memilih antara lain dialami Ibrahim Febrianto (20), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta.
Pada Desember 2023, Ibrahim sempat memanfaatkan layanan pindah memilih yang ditawarkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Sebagai mahasiswa asal Makassar, Sulawesi Selatan, dia harus mengurus pindah memilih agar bisa mengikuti pemungutan suara di DIY.
Ibrahim lalu mengisi formulir pendaftaran pindah memilih melalui Google Forms. Namun, belakangan, dia baru mengetahui bahwa persyaratan pindah memilih itu harus dilengkapi surat dari pemerintah desa di lokasi tempat indekosnya di DIY.
Ibrahim tak sempat mengurus surat tersebut karena waktu itu dia sedang berada di Makassar. Oleh karena itu, dalam pemilu pertamanya ini, dia terpaksa tak bisa menggunakan hak suaranya.
Pada Rabu (14/2/2024), Ibrahim tetap datang ke tempat pemungutan suara (TPS) di Asrama Ratnaningsih Kinanti 1, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY. TPS itu merupakan salah satu TPS khusus yang disiapkan UGM untuk memfasilitasi mahasiswa yang tak bisa menggunakan hak suaranya di daerah asal.
Namun, karena dirinya tak terdaftar sebagai pemilih, Ibrahim tak bisa menggunakan hak suaranya di TPS tersebut. Dia pun hanya mampir ke TPS itu untuk mengantar temannya mencoblos.
Baca juga: Mahasiswa, Nalar Publik, dan Pemilu 2024
Ibrahim pun mengaku kecewa tak bisa menggunakan hak pilih. Sebab, dia sudah melakukan banyak persiapan untuk menggunakan hak suaranya dengan membaca rekam jejak setiap pasangan calon presiden-calon wakil presiden serta mengikuti debat capres-cawapres yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
”Saya rajin mengikuti debat, termasuk juga ikut berdebat dengan teman-teman lainnya,” kata Ibrahim sembari tertawa.
Gusti (21), mahasiswa Fakultas Peternakan UGM, juga tak bisa menggunakan hak pilih. Dia tidak mengurus pindah memilih karena berencana pulang dan memberikan hak suara di kampung halamannya di Pontianak, Kalimantan Barat.
Namun, rencana itu urung dilakukan karena dosen pembimbing skripsinya menjadwalkan pertemuan pada pertengahan Februari 2024. Gusti pun mengaku sangat kecewa karena sebenarnya dia sangat ingin memberikan hak suara di daerah asal.
”Kebetulan ada keluarga yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif di daerah saya,” tuturnya.
Baca juga: TPS Khusus UGM Jadi Bagian Pendidikan Politik Mahasiswa
Sementara itu, Pioren Odilia Fitri (24), mahasiswi pascasarjana UGM, mengaku senang bisa memberikan hak suara di DIY setelah mengurus pindah memilih. Sekitar lima tahun lalu, mahasiswi asal Bengkulu itu tak bisa menggunakan hak pilihnya saat kuliah S-1 di Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat.
”Setelah tertunda selama lima tahun, akhirnya saya bisa memberikan hak suara secara perdana tahun ini,” ujarnya penuh sukacita saat ditemui di TPS khusus di Asrama Ratnaningsih Kinanti 1.
Kebingungan
Masalah lain yang juga dialami para mahasiswa sebagai pemilih pemula adalah kebimbangan saat harus menentukan pilihan. Hal itulah yang antara lain dialami Naila Alfi (19), mahasiswi semester empat Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Sebagai pemilih pemula, Naila sebelumnya mengaku sama sekali tidak menaruh minat pada isu politik. Oleh karena itu, dia merasa kebingungan saat harus memilih pasangan capres-cawapres.
”Ada masa di mana saya terhanyut dengan teman-teman yang memilih pasangan calon tertentu. Tapi, di lain waktu, saya juga tiba-tiba tertarik dengan pilihan teman lainnya lagi. Saya bingung memilih,” tutur mahasiswi asal Kabupaten Kediri, Jawa Timur, ini.
Karena mengalami kebingungan, Naila akhirnya mengumpulkan informasi mengenai tiga pasangan capres-cawapres dalam Pemilu 2024. Dia pun sibuk memantau aktivitas para calon itu di media sosial serta menghimpun data rekam jejak mereka dari pemberitaan media massa.
Setelah tertunda selama lima tahun, akhirnya saya bisa memberikan hak suara secara perdana tahun ini.
Diah Ayu Sofiana Sukowati (20), mahasiswi Fakultas Pertanian UGM, juga melakukan riset sendiri untuk mengumpulkan data terkait capres-cawapres. Dia pun intens mengikuti debat capres-cawapres yang digelar KPU.
”Dengan menghimpun data sendiri, saya semakin mantap menetapkan pilihan,” ujar mahasiswa asal Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, ini.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian kepada Masyarakat, dan Alumni UGM, Arie Sujito, mengatakan, setiap kali pemilu digelar, UGM selalu berupaya memfasilitasi mahasiswa untuk memberikan hak pilih dengan membuat TPS khusus. Tahun ini, TPS khusus yang dibuat UGM melayani 13 perguruan tinggi di DIY.
Baca juga: Pemantau Pemilu Temukan Masalah di Tujuh Provinsi
Selain memfasilitasi mahasiswa untuk pindah memilih, Arie menuturkan, UGM juga intens memberikan pendidikan politik kepada mahasiswa dan masyarakat melalui berbagai media. Pada Desember 2023, UGM juga menyelenggarakan KKN bertema pemilu untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
”Kepada masyarakat umum, kami menekankan bahwa pemberian suara dalam pemilu adalah hal yang penting dilakukan untuk nasib bangsa di masa mendatang,” ujar Arie.
Sekretaris Direktorat Kemahasiswaan UGM sekaligus Penanggung Jawab TPS Khusus UGM, Hempri Suyatna, menuturkan, dalam Pemilu 2024, UGM mendirikan sembilan TPS khusus di lima lokasi. Total pemilih yang dilayani sebanyak 2.611 pemilih.
Selain itu, UGM juga berupaya memfasilitasi mahasiswa UGM yang terlambat mendaftarkan diri untuk memilih di TPS khusus. Mereka dibantu agar dapat mendaftarkan diri sebagai pemilih tambahan di TPS-TPS lain di DIY. Total mahasiswa yang masuk dalam daftar pemilih tambahan (DPTb) mencapai 2.800 orang.
Terkait tingkat partisipasi pemilih, Hempri menuturkan, pihaknya sama sekali tidak menetapkan target. Namun, karena pemungutan suara digelar di tengah libur semester, angka partisipasi pemilih di TPS khusus UGM sulit mencapai 100 persen.
”Tingkat partisipasi pemilih di sembilan TPS tersebut terdata sekitar 70 persen saja,” ujar Hempri.
Namun, hal itu tidak mengurangi minat UGM memberikan layanan serupa pada pemilu berikutnya. Apalagi, para mahasiswa tetap harus dibantu agar tetap bisa menggunakan hak suaranya.