Posko Advokasi Dibuka untuk Dampingi Warga Sipil yang Bersuara Kritis
LBH Palangkaraya bangun posko advokasi untuk dampingi warga yang bersuara kritis dan berhadapan dengan kriminalisasi.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Posko advokasi untuk selamatkan demokrasi juga dibangun di Kota Palangkaraya. Posko itu dibuat untuk membantu masyarakat yang bersuara kritis lalu terbentur kriminalisasi.
Hal itu terungkap dalam konferensi pers yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada Senin (12/2/2024). Konferensi pers tersebut dilaksanakan secara daring dan diikuti media juga LBH di seluruh Indonesia.
Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengungkapkan, posko dengan tajuk ”Selamatkan Demokrasi” ini dibuat dengan landasan begitu banyaknya tindakan represif yang diduga dilakukan aparat dalam seminggu belakangan. Bahkan, beberapa tindakan itu dilakukan oleh oknum-oknum preman.
YLBHI mencatat, ucap Isnur, setidaknya terdapat 23 kasus intimidasi dan manipulasi terhadap guru besar universitas, akademisi, dan aktivis prodemokrasi yang dilakukan oleh pejabat kampus, aparat kepolisian, dan individu-individu yang latar belakangnya tidak jelas. Tindakan yang diduga menyalahgunakan wewenang itu dilakukan terhadap mereka yang kritis pada penyelenggaraan Pemilu 2024.
”Posko ini dibuat untuk memberikan bantuan hukum. Kami ingin menunjukkan bahwa kami berdiri pada politik kemanusiaan,” ungkap Isnur.
Posko advokasi selamatkan demokrasi Indonesia, ujar Isnur, itu dibuat di 18 LBH seluruh Indonesia dan akan bekerja selama penyelenggaraan Pemilu 2024. ”Kami menyerukan agar seluruh gerakan rakyat (warga negara Indonesia) agar tidak takut dan terus bersuara untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia,” katanya.
Di Kalimantan Tengah, posko advokasi dibuat di Kota Palangkaraya, tepatnya di Kantor LBH Kota Palangkaraya. Ketua LBH Palangkaraya Aryo Nugroho menjelaskan, Kalteng memiliki beragam masalah di mana masyarakat yang kritis juga dihadapkan pada kriminalisasi.
Kami menyerukan agar seluruh gerakan rakyat (warga negara Indonesia) agar tidak takut dan terus bersuara untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia.
Di Kalimantan Tengah, ucap Aryo, pada 2022 terdapat 57 kasus pencurian sawit dengan total 137 terdakwa yang ia nilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga. Sebagian besar kasus itu muncul saat masyarakat melakukan aksi protes terhadap perusahaan karena dinilai menyerobot lahan mereka. Faktor lainnya adalah karena masyarakat tidak mendapatkan kehidupan yang layak setelah perkebunan hadir di wilayah mereka.
Baca juga: LBH Palangkaraya Sebut Kriminalisasi di Kalteng Tinggi
Adanya pencurian buah sawit perusahaan, menurut dia, menjadi bukti investasi kebun sawit tidak seindah yang dibayangkan. Hal itu juga terjadi lantaran minimnya kebun plasma yang minim direalisasikan sehingga masyarakat melakukan aksi agar realisasi bisa lebih cepat. Sayangnya, banyak warga yang justru dihadapkan pada penjara dan memilih diam atau mundur.
Aryo menilai, beberapa kasus kriminalisasi aktivis ataupun warga Kalteng selalu berhubungan dengan isu lingkungan. Lingkungan yang saat ini sudah di tahap kritis karena eksploitasi berlebihan.
”Saat ini masyarakat dihadapkan dengan bencana banjir, bukannya menyelesaikan dan mengantisipasi agar bencana itu berulang, justru masalahnya ditambah karena food estate,” ungkapnya.
Kebijakan yang tidak sesuai dan berujung pada perusakan lingkungan tersebut, kata Aryo, memiliki potensi kriminalisasi tinggi sehingga bantuan hukum harus selalu diberikan. ”Posko ini hadir untuk memperkuat gerakan penyelamatan demokrasi dan melawan politik represi terhadap upaya masyarakat yang kritis,” ungkapnya.
Baca juga: Saat Bapak Ditangkap dan Dituduh Mencuri di Kebun Sendiri