”Gejayan Memanggil” Kembali Suarakan Keresahan Demokrasi
Aksi ”Gejayan Memanggil” kembali digelar di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Mahasiswa menyuarakan keresahan mereka.
SLEMAN, KOMPAS – Ratusan mahasiswa dan aktivis lintas kampus serta organisasi kembali menyuarakan keresahan mereka atas nasib demokrasi dalam unjuk rasa ”Gejayan Memanggil” di Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Mereka menuntut penyelamatan demokrasi.
Para peserta aksi berkumpul di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) sejak sekitar pukul 14.00, Senin (12/2/2024). Mereka membentangkan poster dan spanduk yang menyuarakan kritik mereka terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Elemen massa terdiri dari mahasiswa sejumlah perguruan tinggi serta aktivis demokrasi yang tergabung dalam Jaringan Gugat Demokrasi. Massa kemudian berjalan kaki dari Bundaran UGM menuju pertigaan antara Jalan Colombo dan Jalan Gejayan sejauh sekitar 1,5 kilometer.
Baca juga: "Gejayan Memanggil" Digelar Lagi, Demonstran dan Warga Sempat Bersitegang
Titik itu menjadi pusat unjuk rasa dengan sejumlah pembicara bergantian berorasi. Ditampilkan pula aksi teatrikal yang menunjukkan kritik mereka terhadap pemerintahan saat ini. Arus lalu lintas dari semua arah pun dialihkan.
Siti Mauliani dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengatakan, gerakan hari ini berangkat dari keresahan dan kemarahan mahasiswa terhadap berbagai bentuk pelanggaran serta penjatuhan marwah hukum.
”Hari-hari ini menunjukkan bahwa politik telah menjatuhkan marwah hukum,” ujarnya.
Dia pun menyebut para elite politik saat ini tuna-etika dan tidak pernah memikirkan kondisi masyarakat. ”Demokrasi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan para elite politik,” ucap Siti.
Di balik itu, maknanya adalah ”pitulungan”. Kita meminta pertolongan kepada semua orang yang masih peduli pada demokrasi hari ini.
Selain mahasiswa, sejumlah dosen juga turut mengikuti aksi ini, salah satunya Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII) Masduki. Dia mengatakan mengikuti aksi ini sebagai bentuk keprihatinan moral atas nasib demokrasi.
”Kita menyuarakan pesan-pesan, alarm, bahwa demokrasi sedang mengalami regresi,” ucapnya.
Dia menjelaskan, hal itu di antaranya tampak dari tekanan luar biasa terhadap kebebasan berekspresi, indikasi ketamakan terhadap kekuasaan, serta munculnya politik dinasti.
Dalam aksi itu, sejumlah peserta dari Jaringan Gugat Demokrasi membawa tujuh kentungan dan gentong. Juru bicara Jaringan Gugat Demokrasi, Sana Ulaili, menjelaskan, tujuh dalam bahasa Jawa adalah pitu.
”Di balik itu, maknanya adalah pitulungan. Kita meminta pertolongan kepada semua orang yang masih peduli pada demokrasi hari ini,” ucapnya. Adapun gentong yang dibawa disebut mewakili tujuh ”dosa” pemerintahan Jokowi.
Baca juga: Kembalilah ke Demokrasi, Pak Tik dan Mas Ari...
Jaringan Gugat Demokrasi pun mengajukan 11 tuntutan. Di antaranya, revisi undang-undang pemilu dan undang-undang partai politik oleh badan independen, adili Jokowi dan kroni-kroninya, stop politisasi bantuan sosial, serta menuntut permintaan maaf intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti.
Aksi berlangsung hingga pukul 18.08 WIB. Massa kemudian membubarkan diri dengan tertib. Arus lalu lintas yang sempat dialihkan pun dibuka kembali.