Demokrasi di Ujung Tanduk, Mahasiswa Desak Presiden dan ASN Netral
Mahasiswa Palangkaraya beraksi mengajak semua pihak untuk selamatkan demokrasi yang mereka nilai sudah di ujung tanduk.
PALANGKARAYA, KOMPAS — Mahasiswa di Palangkaraya menilai demokrasi Indonesia di ujung tanduk dan perlu diselamatkan. Mereka bahkan meminta Presiden RI Joko Widodo untuk mundur dari jabatannya jika menggunakan fasilitas negara dan wewenangnya untuk mendukung anaknya.
Hal itu terungkap dalam aksi damai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palangkaraya yang bertajuk ”Gerakan Selamatkan Bangsa Indonesia Darurat Demokrasi” yang digelar di Tugu Soekarno, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (9/2/2024).
Puluhan mahasiswa dengan atribut aksi berkumpul pada Jumat sore pukul 16.00 di Tugu Soekarno Jalan S Parman, Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng. Beberapa mahasiswa bergantian berorasi di depan tugu. Mereka menyerukan Presiden RI Joko Widodo untuk mundur dari jabatan agar tidak merusak demokrasi.
Mereka menilai, dengan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden nomor urut 2, membuat Joko Widodo tidak bisa menunjukkan sikap netral. Apalagi, beberapa waktu lalu Presiden sempat menyatakan sikap bahwa Presiden boleh memihak dan hak itu dilindungi oleh konstitusi.
Swageri, Koordinator Lapangan Aksi HMI, sore itu, menyebut beberapa sikap mereka terhadap demokrasi yang berada di ujung tanduk. Pertama, mereka meminta Presiden RI untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye, juga wewenangnya sebagai Presiden.
Kedua, mereka meminta agar pemerintah menyelamatkan demokrasi dengan menghentikan segala bentuk kebijakan dan keputusan yang melanggar konstitusi, khususnya soal pemilu.
Ketiga, mereka juga meminta aparatur negara, termasuk Polri dan TNI, agar bersikap netral dan tidak memihak dalam momentum elektoral 2024. Terakhir, mereka mendesak akademisi dan kelompok intelektual untuk terlibat dalam menjaga demokrasi dari tirani kekuasaan.
”Kalau Presiden Joko Widodo terbukti cawe-cawe atau menggunakan fasilitas negara, kami akan turun aksi lagi dan meminta Jokowi turun dari jabatannya,” kata Swageri, mahasiswa semester 8 di Universitas Palangkaraya itu.
Tak hanya HMI, sebelumnya Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengeluarkan petisi atau ajakan agar masyarakat mengawal pesta demokrasi lebih jeli dan ketat agar pelanggaran tidak meluas. Ketua PMKRI Cabang Palangkaraya Santo Dionisius, Rahel Dewi Sartika, menjelaskan, terdapat tiga poin dari petisi tersebut.
Baca juga: Di Palangkaraya, Mahasiswa Desa RUU Masyarakat Adat Disahkan
Pertama, PMKRI mengecam lembaga negara, ASN, yang ikut terlibat dalam upaya pemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tertentu. Kedua, PMKRI mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk menciptakan pemilu yang aman, damai, dan tertib. Terakhir, PMKRI mengajak seluruh komponen masyarakat dan semua kader perhimpunan untuk ikut berpartisipasi dalam memberikan hak suara tanpa adanya intervensi dari kekuasaan dan kekuatan politik tertentu pada pemilu tahun 2024.
Kalau Presiden Joko Widodo terbukti cawe-cawe atau menggunakan faslitas negara, kami akan turun aksi lagi dan meminta Jokowi turun dari jabatannya.
Menurut Rahel, akhir-akhir ini keterlibatan oknum-oknum lembaga negara, ASN, dan instrumen negara lainya semakin terlihat, baik pemerintah pusat maupun daerah. Mereka mengintervensi dan menunjukkan keberpihakan terhadap pasangan calon tertentu.
”Itu bencana untuk demokrasi,” kata Rahel.
Lembaga negara, lanjut Rahel, semestinya menjadi penopang pembangunan bangsa terutama dalam hal demokrasi. Jika mereka bergerak dan mendukung kekuatan politik tertentu untuk mencapai kekuasaan, akan cukup sulit untuk memastikan pemilu berjalan aman dan damai.
”Temuan tentang terlibatnya beberapa lembaga kekuasaan negara dalam pemilu kali ini menjadi bencana besar bagi demokrasi kita. Tentu saja kita tidak ingin embrio-embrio Orde Baru lahir kembali melalui watak penguasa hari ini,” kata Rahel.
Dari data Komisi Pemilihan Umum, pemilih pada Pemilu 2024 didominasi oleh generasi Z dan kaum milenial dengan jumlah mencapai 55 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT). Rinciannya, generasi milenial (warga yang lahir tahun 1981-1996) mencapai 66,82 juta orang dan generasi Z (1997-2012) mencapai 46,8 juta orang.
Dari data tersebut, lanjut Rahel, menunjukkan anak muda menjadi penentu. Untuk itu, anak muda perlu mempunyai sikap untuk menuju Indonesia Emas seperti yang diharapkan. ”Jika itu (pelanggaran konstitusi) terjadi, Indonesia Emas yang kita harapkan bersama sebagai orang muda tentu akan menjadi mimpi yang tidak akan pernah kita capai bersama,” katanya.
Baca juga: Suara untuk Masyarakat Adat dari Sudut Kota Cantik