logo Kompas.id
NusantaraDebat Capres dan Harapan...
Iklan

Debat Capres dan Harapan Sederhana Rakyat Kecil

Debat terakhir sudah selesai, tetapi isu-isu penting bagi rakyat kecil justru belum banyak tersentuh.

Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
· 5 menit baca
Para buruh pikul di tepian Sungai Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (5/2/2024).
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Para buruh pikul di tepian Sungai Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (5/2/2024).

Debat telah dituntaskan para calon presiden, Minggu (4/2/2024) malam. Namun, hingga kini sejumlah warga terutama masyarakat kecil masih bingung memahami isinya. Kendati demikian, mereka tetap berharap calon pemimpin, siapa pun mereka, bisa menjadi tumpuan harapan rakyat.

Nenek Mariana (74), salah satu warga Kota Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (5/2/2024), berjalan perlahan menuju salah satu warung kopi di Pontianak. Ia menawarkan barang jualannya di dalam kantong plastik yang sudah terlihat melapuk. Kantong plastik itu berisi buah-buah lokal, sayuran, dan pepaya. ”Bang, belilah jualan ibu. Bantu ibu,” ujarnya.

Kompas kerap menyaksikan nenek Mariana menjajakan jualan dengan menenteng kantong plastik hingga tas menyusuri Kota Pontianak. Dari hasil berjualan, terkadang mendapatkan penghasilan bersih Rp 100.000 per hari. Terkadang juga ada yang berbelas kasih memberinya uang. Mariana mengatakan, ia berjualan dari pukul 09.00 hingga pukul 15.00.

Yang penting nanti harga barang-barang jangan mahal dan hidup saya bisa lebih baik.

Sebagai warga, Mariana turut menyaksikan debat para calon presiden (capres) terutama pada Minggu malam. Pada Minggu malam, debat para capres membahas kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia (SDM), dan inklusi.

”Saya menonton debat capres tadi malam. Namun, tidak terlalu paham apa yang dibicarakan. Menurut kalian, siapa yang bagus?” ujar Mariana sembari tersenyum.

Ia mencoba mengenal para sosok calon presiden yang berlaga di kontestasi Pemilu 2024. Namun, sepertinya ia belum juga mengetahui mana yang akan ia pilih. Ia menitipkan harapan sederhana untuk para capres siapa pun yang akan menang.

”Yang penting nanti harga barang-barang jangan mahal dan hidup saya bisa lebih baik,” ujarnya.

Beberapa saat kemudian, Mariana pun melanjutkan perjalanannya menjajakan jualan di dalam kantong plastik di tengah matahari di garis khatulistiwa yang mulai terik. Ia berjualan agar tidak meminta kepada saudara.

Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bergandengan tangan di panggung di sesi akhir Debat Putaran Ke-5 Calon Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden bergandengan tangan di panggung di sesi akhir Debat Putaran Ke-5 Calon Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (4/2/2023).

Slamet (49), salah satu buruh kapal di dermaga tepian Sungai Kapuas, Kota Pontianak, beberapa kali menyaksikan debat para capres dan cawapres. Namun, pada Minggu malam ia tidak bisa menyaksikan debat karena kelelahan sehabis bekerja.

Dari beberapa kali debat sebelumnya yang pernah ia saksikan di telepon genggamnya, ia agak kesulitan menangkap apa yang dibahas para calon pemimpin. ”Yang penting nanti gaji bisa naik, anak saya bisa tetap sekolah siapa pun yang memimpin,” kata Slamet di sela-sela waktu istirahatnya.

Slamet merupakan buruh kapal barang rute Kota Pontianak-Kabupaten Ketapang. Penghasilannya setiap bulan Rp 2 juta. Dengan penghasilan tersebut, ia mengaku harus pandai-pandai mengatur untuk biaya hidup dan pendidikan anaknya yang masih SD.

Iklan

Baca juga: Pemilih Muda Menanti Solusi Masalah Ketenagakerjaan dari Capres

Terkait pendidikan, debat capres pada Minggu malam juga dinilai belum menyentuh pendidikan dasar. Benus Syamsiar, salah satu guru SMP swasta di Kota Pontianak, menuturkan, debat pada Minggu malam kurang menyentuh substansi pendidikan dasar. Pembahasan lebih banyak mengenai tema kesehatan dan teknologi.

Padahal, menurut Benus, pendidikan dasar adalah fondasi. Contohnya, bagaimana memperkuat menerapkan kurikulum di sekolah dalam hal kontekstual pembelajaran. Mencari tema praktik tidak mudah dan banyak yang tidak cocok.

Fundamental

Pengajar Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman, kecewa dengan debat capres pada Minggu malam. Debat capres pada Minggu malam tidak menyentuh hal-hal fundamental yang dirasakan masyarakat di bawah.

Menurut dia, hal yang perlu dipikirkan ke depan adalah bagaimana memikirkan pendidikan anak-anak petani, nelayan, dan buruh. ”Pembahasannya tidak membumi sama sekali. Kalimat yang ada hanya nyaman didengar, tetapi tidak ada artinya,” katanya.

Anak-anak di perbatasan Indonesia-Malaysia berangkat ke sekolah. Foto diambil pada 20 Agustus 2017.
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTRA

Anak-anak di perbatasan Indonesia-Malaysia berangkat ke sekolah. Foto diambil pada 20 Agustus 2017.

Eddy pun belum menemukan bagaimana konsep mengatasi masalah kesehatan keluarga miskin dan miskin ekstrem termasuk bagaimana penerapan BPJS orang-orang miskin. Hal itu penting dibahas karena ini menjadi tantangan yang tidak mudah.

Ia juga belum menemukan pembahasan yang membumi tentang pendidikan untuk orang-orang paling miskin. Bagaimana mungkin orang bisa lulus perguruan tinggi jika masih banyak yang tidak mampu tamat SMP dan SMA.

”Di Kalbar, misalnya, rata-rata lama sekolah masih 7,7 tahun. Itu berarti baru setara tamat SMP kelas 1. Beberapa kabupaten di Kalbar masih ada di bawah 7 tahun. Artinya, hanya tamat SD. Daerah-daerah lain di Tanah Air juga masih banyak. Bayangkan, masih ada masalah pendidikan dasar,” ungkap Eddy.

Terkait kesejahteraan sosial, Eddy mengatakan, bantuan sosial (bansos) hanya diperlukan dalam situasi darurat, misalnya ketika mengalami pandemi sehingga orang terpaksa berhenti bekerja. Namun, dalam situasi normal, bansos tidak diperlukan.

https://cdn-assetd.kompas.id/biJe7HdRBsKOXk7jHYPXozL3-Jk=/1024x2694/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F21%2F178c1cf3-2542-4606-8717-70b8cec59b16_png.png

Eddy menambahkan, yang diperlukan ke depan adalah solusi bersifat jangka panjang. Bagaimana orang-orang yang ”tidak beruntung” dilatih bekerja sesuai taraf keahliannya. Contohnya, di sekitar perkebunan sawit dan pabrik sawit. Pemerintah perlu menyediakan pelatihan dengan kualifikasi yang sesuai dan dibiayai pemerintah. Dengan demikian, investasi yang masuk ke daerah bisa berdampak bagi orang setempat dan tertolong sepanjang hidup mereka.

Baca juga: Pemilu Jujur, Damai, dan Pemimpin Bersih Menjadi Harapan Pemilih Muda

Selain itu, bagaimana jaminan hidup kepada orang-orang Indonesia yang semakin tua. Indonesia mengalami bonus demografi, penduduk lansia di atas 65 tahun proporsinya membesar. Solusi untuk mereka belum terungkap dari para capres. Padahal, penduduk usia tersebut juga memerlukan layanan kesehatan.

Debat tadi malam bisa jadi ramai di media sosial, tetapi di masyarakat bawah, pembahasan yang diperlukan justru tak tersentuh oleh ketiga calon. Warga, seperti nenek Maryana, Slamet, dan Benu, hanya bisa berharap para pemimpin bisa memberi kemudahan hidup bagi mereka. Tak muluk-muluk, mereka hanya ingin harga terjangkau, anak bisa sekolah tinggi, tetap bisa mengakses layanan kesehatan, dan mendapatkan peluang kerja yang lebih baik.

Editor:
SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
Bagikan