logo Kompas.id
NusantaraDi Kalimantan Tengah, Caleg...
Iklan

Di Kalimantan Tengah, Caleg Butuh Lebih dari Baliho untuk Raup Suara

Caleg dari luar Kalteng sudah banyak, bahkan sukses terpilih. Alasan terpilih rata-rata karena sudah dikenal publik.

Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
· 5 menit baca
Baliho dan spanduk calon anggota legislatif di Jalan Yos Sudarso, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (1/2/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Baliho dan spanduk calon anggota legislatif di Jalan Yos Sudarso, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (1/2/2024).

PALANGKARAYA, KOMPAS — Calon anggota legislatif yang berasal dari luar Kalimantan Tengah sudah berpartisipasi sejak lama dalam perebutan kursi di DPR, baik pusat maupun kabupaten. Mereka membaca peluang dengan harapan bisa berjuang membangun Kalteng. Baliho dan spanduk saja tidak cukup.

Beberapa nama baru dalam perebutan enam kursi DPR RI di Kalteng, seperti Ida Oetari Poernamasasi, Queenyu Suyipto, dan Abubakar muncul. Meski baru dan tidak berasal dari Kalteng, mereka memilih Kalimantan Tengah sebagai daerah pemilihan.

Ida Oetari Poernamasasi mungkin tidak begitu asing di telinga warga Kalteng. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Kalteng selama 1 tahun 10 bulan. Ia pensiun dengan pangkat inspektur jenderal (irjen).

Baca juga: Tanggapan Gibran soal Tarif Foto ”Prewedding” di Destinasi Wisata Cirebon

Jenderal bintang dua itu kemudian pensiun sebagai polisi, lalu mencalonkan diri melalui Partai Amanat Nasional. Ia bertarung dengan 99 calon lain di daerah pemilihan Kalteng. Ida berasal dari Jawa Timur dan tinggal di Jakarta, tetapi sejak bertugas di Kalteng banyak hal yang ia temukan, terutama soal ketimpangan.

”Saya sudah selesai dengan diri saya, sudah pensiun dan tidak ada lagi yang saya kejar untuk diri saya, kecuali untuk masyarakat Kalteng. Ada gap besar yang saya lihat pada sumber daya manusia, padahal potensi sumber alamnya begitu besar, itu alasan utamanya saya,” kata Ida saat dihubungi di Palangkaraya, Kamis (1/2/2024).

Baliho dan spanduk calon anggota legislatif di Kalimantan Tengah pada Kamis (1/2/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Baliho dan spanduk calon anggota legislatif di Kalimantan Tengah pada Kamis (1/2/2024).

Ida merasa dirinya sangat diterima di Kalteng meski masyarakat tahu ia tidak berasal dari sana. Respons masyarakat saat ia mengunjungi desa-desa berkampanye pascapensiun dari kepolisian, menurut dia, begitu baik.

”Di Kalteng ini tidak hanya orang Dayak, ada Banjar, NTT, Sunda, jadi semuanya ada di sini. Nah, saya membangun kekerabatan dengan mereka semua,” kata Ida.

Ida bercerita, pascapensiun, dirinya tidak langsung memutuskan untuk maju dalam pencalonan anggota legislatif. Ada begitu banyak partai meminangnya, tetapi ia tolak. ”PAN yang paling serius dan saya luluh. Jadi, ini gayung bersambut,” ujar caleg nomor urut 2 dari PAN tersebut.

Caleg DPR RI asal Jakarta lain, Queenyu Suyipto, dari Partai Gerindra bahkan tidak pernah tinggal di Kalteng. Ia hanya pernah beberapa kali berkunjung ke Palangkaraya dan kemudian memilih untuk menjadi caleg di Kalteng.

Queenyu tinggal dan berkiprah di Jakarta sebagai produser eksekutif film dan musik. Ia berasal dari Cirebon, Jawa Barat. ”Sejak 2003 keluarga saya memiliki usaha di Kalteng, jadi sebenarnya enggak asing lagi,” kata perempuan berusia 21 tahun tersebut.

Saya begitu mengagumi warga Kalteng, khususnya masyarakat Dayak karena saya tidak melihat mereka memilih dengan membedakan etnis.

Queenyu menilai, Kalteng sedikit tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Kalimantan. Sebelum mencalonkan diri, ia telah berkeliling Pulau Kalimantan untuk berinteraksi dengan masyarakatnya, terutama sejak ia menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Jaringan Rakyat Indonesia Raya (Jari Raya), sebuah organisasi sayap Partai Gerindra.

Iklan

”Banyak stigma terhadap orang Kalimantan, terutama Dayak, tetapi saya enggak melihat itu di sini, enggak benar itu. Saya justru diterima dengan baik, seperti ketemu keluarga,” kata caleg Gerindra nomor urut 2 tersebut.

Baliho dan spanduk calon anggota legislatif di Jalan Mahir Mahar, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (1/2/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Baliho dan spanduk calon anggota legislatif di Jalan Mahir Mahar, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (1/2/2024).

Hal serupa dirasakan Abubakar, caleg DPR RI dari PAN. Ia yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat, memilih Kalteng karena sudah 42 tahun tinggal di Kalteng. Baginya, Kalteng seperti rumah besar untuk semua orang. ”Itu sejalan dengan nilai-nilai budaya orang Kalimantan, jadi tidak masalah,” kata pria yang 40 tahun menjadi pendidik di IAIN Palangkaraya.

Tak hanya nama baru, di perebutan kursi DPRD provinsi sudah hampir dua dekade ada nama-nama anggota legislatif yang bukan berasal dari Kalimantan Tengah. Salah satunya Freddy Ering yang berasal dari PDI-P. Pria asal Manado itu sudah empat periode duduk di kursi DPRD Provinsi Kalteng, dan kali ini kembali maju sebagai calon anggota legislatif DPRD provinsi.

”Saya tidak merasa sebagai putra daerah, tetapi diterima, dan empat periode. Saya begitu mengagumi warga Kalteng, khususnya masyarakat Dayak karena saya tidak melihat mereka memilih dengan membedakan etnis,” kata Freddy.

Baca juga: Caleg Asal Jakarta Percaya Diri Bertarung di Jabar

Freddy yang sudah merasakan empat kali di kursi DPRD Provinsi Kalteng itu bahkan maju dari dapil yang berbeda-beda. Dua periode pertama ia maju dari dapil II di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Timur, lalu dua periode berikutnya dari dapil V di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Kini ia kembali maju untuk kelima kalinya di dapil V.

”Saya juga tidak mengandalkan komunitas Sulawesi atau Manado karena enggak ada di dapil saya. Sederhananya, saya itu siap 24 jam dihubungi, menjaga telepon ini, artinya komunikasi,” kata Freddy Ering.

Rumah lanting atau rumah apung di Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang mulai naik, Selasa (30/1/2024). Rumah apung itu mengikut tinggi muka air sungai dan terus terombang ambing.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Rumah lanting atau rumah apung di Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang mulai naik, Selasa (30/1/2024). Rumah apung itu mengikut tinggi muka air sungai dan terus terombang ambing.

Selain itu, ada nama Gregorius Doni Senun asal Nusa Tenggara Timur yang sudah puluhan tahun tinggal dan bekerja di Palangkaraya. Ia maju dari PDI-P untuk merebut kursi di DPRD Kota Palangkaraya nomor urut 10. Ia maju lantaran melihat peluang dan punya banyak mimpi untuk Kota Palangkaraya. Meski tak berasal dari Kalteng, ia memiliki komunitas besar dan masih menjabat sebagai Ketua DPP Flobamora di Kalteng.

Asal-usul caleg itu disadari oleh sebagian warga Kalteng. Meskipun demikian, mereka menilai asal daerah tidak menjadi pertimbangan utama.

”Kalau saya, sih, yang penting kenal orangnya, minimal pernah berjumpa, jadi bisa tahu orangnya itu kayak apa,” kata Afriando (27), warga Pahandut, Kota Palangkaraya.

Menurut Afriando, selama orangnya dikenal baik, pasti bisa dipilih. ”Saya engak pernah ngecek caleg asalnya dari mana. Tapi, kalau saya kenal pernah ketemu atau diajak ketemu, ya, sudah itu saja pilihannya,” kata Afriando.

Seorang nelayan melintas di Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, di antara lanting atau rumah-rumah apung, Selasa (30/1/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Seorang nelayan melintas di Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, di antara lanting atau rumah-rumah apung, Selasa (30/1/2024).

Dosen Sosiologi Universitas Palangkaraya, Yuliana, menjelaskan, banyak caleg berkampanye dengan baliho, spanduk, dan pamflet yang bisa dilihat di jalanan. Akan tetapi, hal itu tidak cukup untuk membuat pilihan bagi pemilih.

Melalui interpretasi secara sosiologis, kata Yuliana, kampanye dengan visualisasi justru menonjolkan representasi simbol kultur kelas menengah-atas, seperti kecantikan dan ketampanan, senyum ramah, bahkan tertawa lebar, gelar yang mentereng, atau mungkin mendompleng sosok tokoh di belakangnya.

Visualisasi jauh dari realitas kehidupan masyarakat miskin kota dan desa yang lekat dengan isu kemiskinan hingga stunting atau tengkes. ”Masyarakat butuh ruang dialog terbuka dari para caleg untuk memperdebatkan visi-misinya agar tidak mengulang budaya lama, yaitu janji manis membawa tangis,” kata Yuliana.

Editor:
NELI TRIANA
Bagikan