Pentingnya Menjaga Janji Netralitas dalam Pesta Demokrasi di Jabar
Pelanggaran netralitas ASN hingga ke perangkat desa masih mewarnai dinamika Pemilu 2024 di Jabar.
Pelanggaran netralitas aparatur sipil negara hingga perangkat desa mewarnai dinamika Pemilihan Umum 2024 di Jawa Barat. Upaya menghentikannya penting. Saat ini, Jabar tercatat menjadi provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak di Indonesia.
Belasan petugas Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Garut berulah pada awal Januari 2024. Lewat video di media sosial, mereka mendukung Gibran Rakabuming Raka, salah satu calon wakil presiden dalam Pemilu 2024.
Video berdurasi 20 detik itu memperlihatkan 13 anggota Satpol PP Garut dalam satu ruangan lengkap dengan seragamnya. Sebagian petugas memegang gambar Gibran sambil menyatakan Indonesia membutuhkan pemimpin muda.
”Indonesia membutuhkan pemimpin muda di masa depan, Mas Gibran Rakabuming Raka,” ujar salah satu petugas dengan nama Cecep yang menempel di dadanya. Sementara beberapa petugas menunjukkan foto Gibran.
Baca juga: Pelanggaran Netralitas ASN Kian Vulgar
Sontak publik tersentak. Perbuatan para petugas berseragam itu melanggar peraturan dalam menyambut Pemilihan Umum 2024. Pesta demokrasi seharusnya tidak diwarnai dukungan terbuka dari aparatur sipil negara terhadap calon tertentu.
Apalagi, Jabar menjadi daerah dengan jumlah pemilih terbanyak di negeri ini. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum Jabar, jumlah daftar pemilih tetap mencapai 35.714.901 orang yang akan mencoblos di 140.457 TPS.
Dari jumlah itu, KPU Jabar menargetkan angka partisipasi pemilih dalam Pemilu 2024 mencapai 85 persen. Sebelumnya, angka partisipasi pemilih dalam Pemilu 2019 sebesar 82 persen.
Larangan memihak
Larangan memihak itu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Bawaslu Jabar Muamarullah menyebut, para petugas itu melanggar Pasal 280 yang berisi larangan ASN terlibat kampanye dan Pasal 283 yang melarang ASN mengadakan kegiatan yang mengarah keberpihakan terhadap peserta pemilu.
Pemerintah Kabupaten Garut tak tinggal diam. Semua anggota Satpol PP yang terlibat mendapatkan skorsing tidak bekerja dan tanpa gaji selama satu hingga tiga bulan. Mereka pun mendapatkan peringatan keras.
”Dari sidang kode etik, kami memberikan sanksi kepada anggota yang terlibat. Mereka mendapatkan skorsing dari tugas serta tidak menerima gaji,” kata Kepala Satpol PP Garut Basuki Eko.
Selang dua pekan kemudian, dugaan pelanggaran netralitas kembali terjadi di Kabupaten Tasikmalaya. Giliran Ketua Tim Kampanye Daerah Prabowo-Gibran, Jabar, Ridwan Kamil diduga mengampanyekan visi-misi jagoannya dalam Jambore Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kecamatan Cipatujah pada 13 Januari 2024. Bahkan, Gubernur Jabar 2018-2023 yang kerap disapa Emil ini diduga memberikan uang kepada para peserta acara.
Emil lantas dilaporkan ke Bawaslu Jabar oleh PDI Perjuangan dan lembaga pemantau pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia. Kedua pelapor menyertakan bukti video dugaan pelanggaran yang dilakukan Emil.
Sebagai negara hukum, segala dinamika penyelenggaraan relasi kuasa berdasarkan ’ rule of law’. Namun, kini semua ambruk, Implementasi pemerintahan dikendalikan hasrat individu para penguasa secara dominan.
Direktur DEEP Indonesia Neni Nur Hayati menyatakan, iming-iming hadiah dari Emil dalam video tersebut, mulai dari kendaraan hingga umrah, memiliki unsur ajakan serta penyampaian visi-misi di hadapan BPD. Padahal, BPD adalah perangkat desa yang tidak boleh terlibat dalam politik praktis.
”Pelanggaran pemilu ini seolah-olah menjadi puncak gunung es. Kami berharap proses penegakan hukum di Bawaslu harus lebih progresif karena ini menjelang pemungutan suara. Kami tidak menutup mata, ada oknum-oknum yang menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan,” ujarnya.
Emil melalui akun media sosial miliknya membantah politik uang dan sengaja berkampanye di kegiatan Jambore BPD Kabupaten Tasikmalaya. Ia mengaku diundang panitia kegiatan untuk memaparkan visi-misi capres dan cawapres nomor urut dua.
”Para peserta adalah tokoh politik desa dan bukan ASN. Tidak ada politik uang, tetapi pemberian hadiah dalam lomba joget gemoy,” ujar Emil dalam media sosialnya.
Baca juga: Pelanggaran Netralitas ASN Bisa seperti Puncak Gunung Es
Netralitas ASN
Pernyataan Ridwan tentang status anggota Badan Permusyawaratan Desa bukan ASN diduga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam Pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan, setiap ASN, anggota TNI dan Polri, kepala desa, perangkat desa, dan anggota BPD dilarang terlibat sebagai pelaksana atau terlibat kampanye. Mereka yang terlibat dapat dipidana kurungan paling lama satu tahun dan denda maksimal Rp 12 juta sesuai Pasal 494 UU Pemilu.
Di luar kasus Emil, Bawaslu Jabar sejauh ini telah menangani 20 pelanggaran netralitas dalam tahapan kampanye Pemilu 2024. Sebanyak tujuh di antaranya sudah terbukti melanggar netralitas yang melibatkan camat, kepala sekolah, guru hingga anggota satuan polisi pamong praja.
Puluhan kasus dugaan pelanggaran netralitas terdiri dari penjabat wali kota, kepala dinas aparatur sipil negara, kepala desa dan perangkat desa. Lokasi kejadiannya di Bogor, Ciamis, Garut, Karawang, Sukabumi, Kuningan, dan Tasikmalaya.
”Kami telah merekomendasikan ASN yang terbukti melanggar netralitas ke Badan Kepegawaian Daerah, Komisi ASN dan sejumlah lembaga terkait. Sementara laporan dugaan pelanggaran desa dan perangkat desa sedang diproses,” kata Ketua Bawaslu Jabar Zacky Muhammad Zam Zam.
Penjabat Gubernur Jabar Bey Machmudin menyatakan, pelanggaran yang tercatat itu tidak berasal dari ASN Pemprov Jabar. Namun, dia terus mengingatkan ASN untuk tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu calon dan selalu menjaga netralitas, salah satunya dengan sosialisasi penguatan.
”ASN memang memiliki punya hak politik untuk memilih. Namun, ekspresi keberpihakan politik itu hanya bisa diimplementasikan di ruang pemungutan suara, bukan di ruang publik. Agar netralitas tetap terjaga, semua perlu penguatan,” ujarnya.
Fenomena lama
Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Pius Sugeng Prasetyo, berpendapat, penggunaan aparatur negara hingga desa untuk kepentingan politik mengulang kembali fenomena yang sama pada era Orde Baru. Terjadi pengerahan ASN hingga aparatur desa untuk pemilu oleh partai tertentu yang dominan pada masa itu.
Akan tetapi, tidak hanya di Jabar, Pius melihat pelanggaran netralitas terjadi secara meluas di wilayah Indonesia. Hal ini dipicu kegiatan birokrasi yang ditentukan pandangan politik. Salah satu contohnya, penentuan mutasi jabatan di sebuah instansi atau lembaga negara.
”Setiap aktor politik akan memanfaatkan segala sumber daya demi kepentingannya. Salah satunya menggunakan pihak-pihak yang masuk dalam sebuah sistem kekuasaan,” ujar Pius.
Guru Besar Komunikasi Bidang Komunikasi Politik Profesor Suwanfdi Sumartias dalam orasi ilmiahnya, Rabu (24/1), juga menyoroti penyalahgunaan dalam penggunaan kekuasaan di Indonesia. Dia berujar, Indonesia yang seharusnya menganut negara hukum ternyata saat ini memosisikan diri sebagai negara kekuasaan.
”Sebagai negara hukum, segala dinamika penyelenggaraan relasi kuasa berdasarkan rule of law. Namun, kini semua ambruk, Implementasi pemerintahan dikendalikan hasrat individu para penguasa secara dominan. Indonesia menjadi negara kekuasaan dengan praktik penyalahgunaan wewenang dalam relasi kenegaraan yang semakin masif dan tidak terkendali,” ujarnya.
Pelanggaraan netralitas yang terjadi di Jabar harus menjadi alarm bersama. Sebagai negara hukum, penegakan aturan dalam pemilu menjadi penting untuk memastikan pesta demokrasi ini ada untuk segenap bangsa, bukan hanya di lingkaran penguasa.
Baca juga: Menpan dan RB: Sanksi ASN yang Melanggar Netralitas di Pemilu