logo Kompas.id
NusantaraDebat Cawapres Tema...
Iklan

Debat Cawapres Tema Lingkungan, Pelarangan Tambang di Pulau Kecil Perlu Perhatian

Jelang debat tema lingkungan, para paslon diminta untuk berani berjanji menghentikan tambang mineral di pulau kecil.

Oleh
RAYNARD KRISTIAN BONANIO PARDEDE
· 4 menit baca
Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kawasan penambangan dan industri pengolahan nikel grup Harita Nickel yang berada di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara, Jumat (24/11/2023).

TERNATE, KOMPAS — Pasangan calon presiden dan wakil presiden diminta untuk memperhatikan kondisi pulau kecil dan pesisir yang terancam rusak dan hilang akibat pertambangan mineral yang masif. Cuaca ekstrem yang terjadi karena perubahan iklim semakin menekan kehidupan masyarakat di sana. Komitmen ini dinanti dalam debat calon wakil presiden pada Minggu (21/1/2024) dengan tema lingkungan.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Ternate, Muhammad Aris, menjelaskan, pertambangan nikel di wilayah Maluku Utara yang terus tumbuh membuat lingkungan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terdampak. Operasi tambang tidak hanya dilakukan di kawasan bukit, tetapi juga di bibir pantai sehingga memengaruhi hasil tangkapan nelayan. Di Maluku Utara, pertambangan nikel banyak dilakukan di wilayah Halmahera Tengah, Halmahera Timur, dan juga Halmahera Selatan.

Pencemaran lingkungan yang paling umum terjadi adalah perubahan rona lingkungan akibat berkurangnya tutupan hutan di pulau sehingga air hujan yang bercampur logam berat di tanah dalam, langsung mengalir ke perairan. Akibatnya, logam berat seperti besi dan kromium yang ada di dalam tanah memengaruhi kualitas ikan.

https://cdn-assetd.kompas.id/5y4-wxFaJ9KvDJNzLd4X-p3diFQ=/1024x910/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F06%2F9d7d516e-26b0-4160-8267-85b8458089b5_png.png

Kontaminasi logam berat di perairan membuat ikan di wilayah Teluk Buli dan Teluk Weda tercemar. Nelayan di Pulau Gee, pulau kecil di sekitar Buli, merasakan dampaknya. Dalam Liputan Jelajah Laut Maluku Papua bersama Tim Kompas akhir 2023, Aris menyebut, logam berat ditemukan di otot ikan. Hal ini menekan populasi ikan sehingga mendorong nelayan untuk melaut lebih jauh lagi.

Baca juga: Perairan Halmahera Tercemar Logam Berat

Ia berharap, permasalahan ini menjadi fokus dalam kebijakan lingkungan yang ditawarkan oleh para pasangan calon presiden dan wakil presiden. ”Nelayan melaut lebih jauh dengan biaya yang lebih besar, tetapi tangkapan tidak menentu. Pemimpin selanjutnya harus memberi aturan tegas tentang pertambangan di pulau kecil dan juga pulau besar yang masih ada aktivitas pertambangan di dekat pantai,” ujarnya di Ternate, Maluku Utara, Sabtu (20/1/2024).

Tidak hanya di Teluk Buli dan Teluk Weda, pencemaran juga terjadi di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Di pulau seluas lebih kurang 2.500 kilometer persegi ini terdapat pertambangan nikel yang beroperasi dekat bibir pantai di kawasan Kawasi. Pada penelitiannya di tahun 2020, kandungan logam berat ditemukan di beberapa jenis ikan. Lumpur yang berasal dari limpasan air hujan yang terbawa dari lokasi tambang juga mengendap dan mencemari dasar laut sekitar Obi.

Tim Kompas sempat mengunjungi daerah ini pada November 2023. Harita Group menjadi salah satu perusahaan yang menambang di Pulau Obi. Head of Technical Support Harita Group Smelter Rico Wirdy Albert menjelaskan, pihaknya membangun kolam sedimen untuk mencegah air limpasan hujan ataupun produksi tambang mengalir ke laut. Air baru akan dialirkan setelah baku mutunya sama dengan baku mutu air laut.

Iklan

”Saya tidak antitambang, tetapi kalau merusak sebaiknya dihentikan. Perusahaan bisa membuat fasilitas pengolahan limbah yang baik, tetapi kerap dinilai tidak menguntungkan perusahaan karena biaya besar. Dalam debat nanti harus berani menekankan pentingnya hal tersebut,” ujarnya.

Selain di Maluku Utara, kerusakan akibat tambang juga terjadi di wilayah Maluku. Guru Besar Manajemen Kehutanan Universitas Pattimura Agustinus Kastanya menilai, aktivitas tambang seperti di Pulau Romang dan Pulau Wetar di Kabupaten Maluku Barat Daya bisa membuat lingkungan rusak karena berpotensi mengurangi tutupan hutan.

Pulau Romang contohnya, pulau yang memiliki luas kurang dari 150 kilometer persegi ini memiliki daerah aliran sungai (DAS) yang sempit dan kecil. Bila tutupan hutan berkurang, air akan terus mengikis tanah. Ditambah dengan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim, kehidupan pulau ini bisa mudah terancam badai tropis ataupun kenaikan muka air laut. Belum lagi konflik masyarakat yang timbul setelah adanya eksplorasi tambang di sana.

Aktivitas tambang di pulau kecil harus dihentikan karena tidak akan cocok dengan karakteristik wilayah.

Ia berharap, calon pemimpin selanjutnya untuk menghentikan secara total rekomendasi izin pertambangan di pulau kecil karena tidak cocok dengan karakteristik wilayah. Daya dukung yang terbatas ditambah ancaman perubahan iklim menjadi dua alasan utama yang perlu menjadi bahan pertimbangan.

https://cdn-assetd.kompas.id/TG2UjmZZEkC7ODkrKi6GLls9trA=/1024x706/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F02%2Faccfbd1f-6b01-4dd3-9070-db93a8433215_png.png

”Harapan kita ada di para pemimpin selanjutnya untuk meninjau kembali pertambangan ini, kalau bisa menghentikan pemberian izin tambang. Pemerintah perlu memperkuat status masyarakat setempat sebagai kelompok yang menjaga lingkungan di pulau-pulau kecil,” ujarnya.

Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia Anggi Prayoga menjelaskan, pertambangan di pulau kecil harus dihentikan karena dampak lingkungannya mengancam masyarakat secara nyata. Tidak hanya itu, konservasi wilayah yang rusak akibat pertambangan di pulau kecil akan sulit dilakukan, salah satunya lewat penumpukan tanah atas (top soil) dan penanaman kembali vegetasi.

Baca juga: Pertambangan di Pulau Kecil Melanggar Undang-undang

Wilayah yang kecil membuat aktivitas penambangan kerap membuang top soil karena minimnya lokasi penyimpanan. Padahal, top soil dibutuhkan sebagai bahan timbunan untuk revegetasi. Tidak hanya itu, lokasinya yang sulit dijangkau oleh berbagai moda transportasi membuat upaya konservasi sulit dipantau.

Konservasi juga sulit dilakukan karena membuat muka tanah di pulau kecil terus menurun. Di saat yang sama, badai tropis dan abrasi terus menghantam pesisir pulau tersebut sehingga konservasi memerlukan intervensi ekstra.

”Karakteristik pulau kecil tidak akan bisa sesuai dengan aktivitas pertambangan. Bila pasangan calon tidak memiliki tawaran kebijakan, sebaiknya melihat lagi dan mengevaluasi kebijakan yang sudah dijalankan. Ancamannya semakin nyata dan butuh komitmen tegas,” ujarnya.

Editor:
MARIA SUSY BERINDRA
Bagikan