Menjaga Jejak Kejayaan Pertanian dan Perikanan di Pulau Obi
Hilirisasi nikel mengubah lanskap kehidupan warga Pulau Obi. Namun, pertanian dan kelautan tetap masa depan warga Obi.
Hilirisasi nikel mengubah lanskap kehidupan warga Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Daerah yang dulunya banyak bergantung pada perkebunan kelapa, rempah-rempah, dan hasil laut, kini bertumbuh menjadi sentra hilirisasi nikel. Namun, pertanian dan kelautan tetaplah sektor yang menjanjikan di masa depan. Kelestarian lingkungan jadi kunci mewujudkan masa depan.
Jejak-jejak kejayaan komoditas kelapa di pulau itu nyata terlihat di Desa Buton, Kecamatan Obi. Di sepanjang jalan, tanaman kelapa mendominasi. Umumnya, pohon-pohon itu sudah berusia tua. Pohon terlihat kering, tidak terawat, begitu pula buah-buahnya yang dibiarkan jatuh begitu saja. Dulunya, kelapa menjadi salah satu tumpuan kehidupan warga Desa Buton.
Daging kelapa dikeringkan menjadi kopra yang diserap untuk pasar ekspor. Kopra banyak dikirim ke Makassar, Sulawesi Selatan, sebelum dikirim ke sejumlah negara tujuan. Sayangnya, harga kopra jatuh dalam dua tahun terakhir.
Baca juga: Nikel, Harta Karun Masa Kini dari Pulau Obi
Situasi ini, menurut Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Batu Putih Mahfud Lohor (42), membuat banyak warga tidak lagi dapat bergantung pada kopra. Turunnya harga kopra membuat lahan kelapa warga di desa itu banyak yang tidak dimanfaatkan. Kini, kopra dihargai Rp 5.000-Rp 6.500 per kilogram (kg), dari yang sebelumnya Rp 7.000 per kg.
Harga kopra sedang tidak stabil. Kondisi ini hampir terjadi di semua daerah penghasil kopra di Indonesia. ”Berkebun kelapa tidak lagi menguntungkan,” ucap Mahfud, Minggu (26/11/2023).
Pada tahun 2022, keadaan mulai berubah saat ia dan beberapa petani lainnya diajak oleh Harita Nickel untuk mengembangkan komoditas seperti semangka dan padi lewat program Sentra Ketahanan Pangan Obi (Sentani). Kelapa yang hanya dibiarkan jatuh dari pohonnya kini dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik, khususnya untuk semangka. Mahfud tidak menyangka, air kelapa yang selama ini hanya untuk melepas dahaga bisa pula untuk menyuburkan tumbuhan.
Melihat potensi tersebut, Mahfud dan petani lain pun membuka lahan semangka seluas 3 hektar. Dalam meracik pupuk organik, para petani menggunakan air kelapa sebagai bahan dasar, lalu dicampur dengan krimer kental manis, air tempe, dan gula pasir. Hasilnya, semangka yang dihasilkan memiliki rasa yang manis.
Baca juga: Nikel, Pedang Bermata Dua di Maluku Utara
Dari 3 hektar, para petani di BUMDes Batu Putih bisa menghasilkan hingga 1 ton semangka. Hasilnya lalu dijual ke Harita Nickel untuk dikonsumsi oleh para karyawan. ”Dari pendampingan yang diberikan, produktivitas semangka di Desa Buton meningkat,” ujarnya.
Selain semangka, Program Sentani Harita Nickel juga membina warga untuk menanam padi. Lewat program ini, petani di Desa Buton bisa menghasilkan gabah kering panen (KGP) hingga 4,5 ton per hektar setiap musim panen. Ada sekitar 10 hektar lahan yang digarap. Peningkatan produktivitas ini juga membuat jumlah petani di BUMDes Batu Putih bertambah, dari sekitar 10 petani, menjadi 30 petani.
Kebutuhan pasar lokal
Awalnya warga hanya menanam padi untuk kebutuhan pangan keluarga, tetapi kini sebagai sumber penghasilan. Beras hasil panen juga nantinya akan dijual ke perusahaan sebagai konsumsi karyawan.
Albertus Daru Kumara, pendamping pertanian dari Harita Nickel, menceritakan, upaya pihaknya untuk mendampingi warga tidaklah mudah, sebab semangka bukan komoditas yang umum dikembangkan di Pulau Obi. Demikian pula padi.
Baca juga: Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah
Warga Obi umumnya mengonsumsi umbi-umbian dan sagu. Lahan padi di Desa Buton pertama kali dibuka pada 2016 dengan bantuan TNI. Luasnya ketika itu masih di bawah 3 hektar. Setelah pendampingan oleh Harita Nickel, luasan lahan kini menjadi 10 hektar dan akan dikembangkan menjadi 30 hektar secara bertahap.
”Saat ini memang hasil panen masih dikonsumsi untuk keluarga. Ketika produksinya meningkat, kami proyeksikan hasil panennya juga dapat dijual ke perusahaan. Harapannya warga mendapatkan keuntungan dan manfaat dengan hadirnya perusahaan,” kata Daru.
Konsumsi beras Harita Nickel relatif besar, sebab para pekerja tambang datang dari banyak daerah. Kebutuhan beras mencapai 20 ton per bulan. Belum lagi kebutuhan buah dan sayur yang mencapai 250 kg per bulan. Ada juga kebutuhan ikan 5 ton per bulan.
Baca juga: "Boom" Nikel Indonesia, Akankah Terus Berlanjut?
Kebutuhan pangan dari Harita Nickel itu, menurut Daru, masih terbuka untuk dapat dipenuhi oleh warga setempat. Oleh karena itu, pemberdayaan warga untuk pertanian dan perikanan menjadi salah satu fokus perusahaan. Tujuannya, warga mendapatkan manfaat dari peluang yang tersedia dari kebutuhan pangan tersebut.
Selama ini, suplai kebutuhan pangan untuk Harita Nickel Sebagian besar didatangkan dari daerah di luar Maluku Utara, seperti Surabaya di Jawa Timur. Situasi ini diharapkan pelan-pelan dapat diubah dengan semakin dilibatkannya masyarakat setempat dalam pemberdayaan pertanian dan perikanan.
Menggeliatnya pertanian dan perkebunan di Obi rupanya juga menarik perhatian warga dari luar pulau. Iksan Ramli (38), sopir angkutan umum di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, memutuskan pindah ke Desa Buton, dengan niat ingin bertani. Mulanya ia diajak oleh keponakannya pada tahun 2020.
Pada awalnya, Iksan merasakan beratnya bertani. Sebelum mengetahui resep pupuk organik dari air kelapa, Iksan dan dua teman petaninya harus mengeluarkan Rp 3 juta-Rp 4 juta untuk membeli pupuk. Pupuk yang dibeli adalah pupuk nitrogen pospor kalium (NPK) dan pupuk kalium klorida (KCL) untuk pertumbuhan dan nutrisi semangka.
Iksan menggarap lahan 1 hektar. Setiap panen dua bulan sekali, ia mendapatkan keuntungan Rp 10 juta dari penjualan 1 ton semangka. Pendapatan itu dikurangi dengan biaya produksi dan modal sehingga ia dan dua petani lainnya masing-masing mendapatkan Rp 3 juta setiap kali panen.
Baca juga: Pengelolaan Nikel dan Ketergantungan terhadap Asing Tentukan Ekosistem Baterai
Keuntungan petani semangka menjadi lebih besar setelah menggunakan pupuk organik dari campuran air kelapa. Kini, petani semangka hanya membutuhkan Rp 45.000 untuk memupuk semangka.
”Waktu jadi sopir oto (angkutan umum) per bulan hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta, sekarang bertani semangka bisa Rp 10 juta per dua bulan. Dengan pupuk organik, modal yang dikeluarkan pun semakin sedikit, keuntungan yang didapat semakin besar, ujar Iksan.
Di Desa Kawasi, desa yang langsung berbatasan dengan Kawasan pertambangan Harita Nickel, kelompok perempuan juga dibantu untuk mengembangkan usaha keripik dari pisang dan umbi-umbian. Selain itu, mereka juga memproduksi abon ikan tuna, minyak kelapa, dan sambal roa dalam kemasan.
”Produk yang paling dicari adalah keripik pisang. Kami awalnya tidak mengira kalau keripik pisang dikemas dan dipasarkan seperti ini,” ujar Suryani atau yang sering dipanggil dengan mama Cahya, penggerak kelompok perempuan di Kawasi.
Semula kelompoknya beranggotakan sembilan orang, kini menjadi 19 orang. Mereka dibebaskan bekerja di rumah masing-masing sembari mengurus keluarga. Omzet penjualan Rp 20 juta-Rp 24 juta per bulan. Pendapatan itu sangat menolong keluarga mereka yang umumnya bergantung dari hasil mencari ikan di laut. ”Sebagian besar suami anggota saya adalah nelayan,” ucap Suryani.
Ketimpangan melebar
Sekalipun masih menjadi penopang ekonomi masyarakat, pertumbuhan sektor pertanian dan perikanan kian menurun di Maluku Utara. Hal itu, antara lain, terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara. Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Maluku Utara triwulan III 2023 dibandingkan triwulan III 2022 adalah 4,49 persen. Jauh dari laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian triwulan III 2023 yang tumbuh 62,15 persen dibandingkan triwulan III 2022.
Hal ini mengemuka dalam Musyawarah Besar Fagogoru ke V di Ternate, Maluku Utara, Oktober 2023. Dalam forum Fagogoru, yang merupakan wadah ikatan kesukuan tempat masyarakat dari daerah Maba, Patani, Gebe, dan beberapa kawasan di Halmahera berkumpul, itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun, Abdul Wahab Hasyim, mengungkapkan, penurunan laju pertumbuhan sektor pertanian serta kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Maluku Utara membuat ketimpangan dan kemiskinan terus melebar.
Mengutip penelitian doktoralnya, Abdul Wahab mengatakan, kehidupan warga di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang semakin miskin setelah aktivitas tambang nikel di sana berakhir.
Baca juga: Eksploitasi Nikel Perlu Dibarengi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Tambang
Berkaca dari fakta tersebut, kebijakan pembangunan ekonomi harus pula bertumpu pada sektor tradisional masyarakat, seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata. Ia menambahkan, upaya mendorong kedua sektor itu juga harus diiringi dengan aturan ketat mengenai kerusakan lingkungan. Keduanya dinilai sebagai hal yang tidak bisa dipisahkan.
”Di balik gemerlapnya sektor pertambangan Maluku Utara, terjadi paradoks, dengan tumbuhnya kemiskinan, ketimpangan, serta kerusakan alam. Hari ini kita boleh bahagia karena ekonomi tumbuh, tapi di jangka panjang kita harus berhati-hati,” ucapnya.
Laju pertumbuhan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan Maluku Utara triwulan III 2023 dibandingkan triwulan III 2022 adalah 4,49 persen. Jauh dari laju pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian triwulan III 2023 yang tumbuh 62,15 persen dibandingkan triwulan III 2022.
Kendati ekonomi Maluku Utara kini banyak bergantung pada pertambangan nikel, pemerintah daerah dan swasta perlu juga memikirkan keberlangsungan sektor ekonomi lain. Kebergantungan yang tinggi pada satu sektor saja akan menjadi bumerang di masa depan, sebab pertambangan dan penggalian memiliki batas waktu tertentu.
Selain nikel, sektor pertanian dan perikanan yang menghidupi warga dapat kembali menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi Maluku Utara. Tentu saja, pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain harus lebih serius mengembangkannya dengan selalu menjaga kelestarian lingkungan Maluku Utara.