logo Kompas.id
NusantaraLakon Pomanduno Terakhir di...
Iklan

Lakon Pomanduno Terakhir di Tanah Buton

”Sudah jarang yang tahu (bikin gerabah). Anak perempuan saya saja tidak ada yang tahu bikin,” katanya. Padahal, Wa Aji (70) belajar otodidak dari orangtuanya yang diturunkan selama beberapa generasi.

Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
· 1 menit baca
Di balai dari papan bekas, Wa Aji (70) tekun membuat gerabah yang menjadi profesinya selama puluhan tahun, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.
KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS

Di balai dari papan bekas, Wa Aji (70) tekun membuat gerabah yang menjadi profesinya selama puluhan tahun, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara, Kamis (26/5/2022). Eksistensi gerabah di tanah Buton ini terancam akibat tidak adanya regenerasi pomanduno atau pembuat gerabah.

Menggenggam sebilah bambu dan sebuah batu kali, Wa Aji (70) khusyuk mengolah sebongkah tanah liat di pangkuannya. Geraknya lentur seiring puluhan tahun membuat gerabah. Nenek dengan cucu yang tak mampu ia hitung ini bertahan hidup dengan gerabah sekaligus menjadi segelintir pomanduno terakhir di tanah Buton.

Di siang yang terik, akhir Mei lalu, Wa Aji duduk berselonjor di sebuah balai dari papan bekas. Balai berukuran 2 x 2 meter ini berada tepat di belakang rumahnya, di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara. Berbagai peralatan sederhana berada di sekelilingnya, menjadikan ibu empat anak ini serupa penampil yang mengorkestrasi pertunjukan seorang diri.

Editor:
HAMZIRWAN
Bagikan