Laru dan Sopi, Pahit-Manis Hidup Warga dalam Ritual Adat di NTT
Minuman lokal bersumber sadapan pohon jenis palem-paleman memiliki beberapa sisi: sosial, ekonomi, dan kesehatan. Di NTT, dampak buruknya yang masih menonjol.
Nurince Talok (36), warga Kelurahan, Naimata Kota Kupang, bergegas menuangkan laru, minuman dari bulir-bulir lontar. Laru berwarna putih susu itu diisikan ke dalam botol bekas berukuran 1.600 ml, kemudian dipajang di lapak kayu di tepi jalan umum. Harga satu botolnya Rp 10.000. Sebagian warga memilih memproses laru menjadi sopi, sejenis arak dengan kandungan alkohol lebih tinggi. Minuman lokal ini mendukung ekonomi warga, sekaligus berdampak mematikan.
Sejak menikah 22 tahun lalu, Nurince berjualan laru putih di depan rumahnya di Jalan Taebenu, Kelurahan Naimata, Kota Kupang. Saat itu suaminya sebagai buruh bangunan. Kini, sudah menjadi pemborong. Namun, saat terjadi pandemi Covid-19, pembangunan fisik sepi sehingga ia menopang pemasukan keluarga dengan menjual laru.