logo Kompas.id
β€Ί
Nusantaraβ€ΊMenangis di Hulu, Menjerit di ...
Iklan

Menangis di Hulu, Menjerit di Hilir

Industri rotan nasional membutuhkan perhatian. Tata niaga dari hulu ke hilir dinilai banyak pelakunya masih jauh dari ideal. Padahal, rotan potensial menjadi salah satu komoditas unggulan bangkit dari pandemi.

Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo/Abdullah Fikri Ashri
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/dTVIcn1gwKZtqTA9Zi6rDGOC0zM=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_10989809_79_0.jpeg
Kompas

Pekerja merapikan rotan yang telah dibelah di kawasan industri kluster rotan di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, Selasa (29/5/12). Pemerintah berencana membangun sentra-sentra pengolahan rotan menjadi mebel dan kerajinan lain di luar Jawa, khususnya di daerah penhasil rotan seperti Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi.

Industri rotan negeri ini seperti benang kusut. Di hulu, nasib petani rotan memilukan. Sementara industri di hilir, pelakunya terjerat sulitnya bahan baku. Komoditas ekspor menjanjikan ini pun merosot meski Indonesia kaya rotan.

Puluhan tahun hidup dari rotan, Aji Bahar (58) kini menjauh dari komoditas itu. Rendahnya harga rotan membuat petani asal Katingan, Kalimantan Tengah, ini gigit jari. Harga rotan hanya Rp 1.300 per kilogram. Padahal, lebih dari sedekade lalu, harganya Rp 7.500-Rp 10.000 per kg.

Editor:
Cornelius Helmy Herlambang
Bagikan