logo Kompas.id
β€Ί
Nusantaraβ€ΊKerentanan Palu yang Diabaikan
Iklan

Kerentanan Palu yang Diabaikan

Penelitian tentang kerentanan Kota Palu, Sulawesi Tengah, terhadap gempa bumi dan tsunami telah digulirkan sejak puluhan tahun silam. Namun, tak ada upaya mitigasi. Pengabaian dapat berujung pada tragedi.

Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/KELVIN HIANUSA/HARRY SUSILO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/rMey3AnkNZYSQHlV2XXkV6t9iAw=/1024x1602/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2FIMG_20200108_181143_1579552223-720x540.jpg
KOMPAS/HARRY SUSILO

Kondisi areal yang terkena likuefaksi di Perumnas Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah, belum dibersihkan dari puing, seperti terlihat, Rabu (8/1/2020) atau 15 bulan pascabencana Sulteng. Sesuai peta zona rawan bencana yang disusun pemerintah, daerah terdampak likuefaksi di Palu ditetapkan sebagai zona merah yang harus dikosongkan dari hunian penduduk.

Penelitian tentang kerentanan Kota Palu, Sulawesi Tengah, terhadap gempa bumi dan tsunami telah digulirkan sejak puluhan tahun silam. Gempa besar pun sudah terjadi berulang. Namun, Palu tetap berkembang menjadi kota tanpa upaya mitigasi. Pengabaian berujung pada tragedi.

Ahli geologi kelahiran Sulawesi, JA Katili, sudah memperingatkan kerentanan gempa di Sulawesi Tengah, khususnya Palu, sejak 1970-an. Lulusan pertama doktor bidang geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan juga di Indonesia sejak 1970-an, ini pula yang menamai sesar ini sebagai Palu Koro. Ini karena membelah dari Teluk Palu di sebelah utara hingga ke Koro di sekitar Teluk Tondano sepanjang sekitar 1.000 kilometer.

Editor:
Harry Susilo
Bagikan