logo Kompas.id
β€Ί
Nusantaraβ€ΊBerjuang Menata Hidup di...
Iklan

Berjuang Menata Hidup di Pengungsian

Sudah lebih dari setahun gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi memporak-porandakan Palu dan sekitarnya. Namun, beragam persoalan masih terus dihadapi para penyintas di pengungsian. Mereka sedang berjuang menata hidup.

Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/KELVIN HIANUSA/HARRY SUSILO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/0zn5f66YWuUAhrYr-Opc5-C5bC4=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2FDSCF6690_1579919416.jpg
KOMPAS/KELVIN HIANUSA

Yati (48) (kiri) beserta suaminya, Tommy (65), dan sang putra, Rafli (12), merupakan salah satu keluarga penyintas bencana likuefaksi yang tinggal di tenda pengungsian di Balaroa, Kota Palu, Sulawesi Tengah, seperti terlihat Jumat (10/1/2020). Mereka sedang berjuang menata hidup di pengungsian pascabencana Palu yang terjadi pada September 2018. Selain kehilangan tempat tinggal, Yati dan keluarga juga kebingungan mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Sudah lebih dari setahun gempa bumi, tsunami, likuefaksi memorak-porandakan Kota Palu, Sulawesi Tengah. Namun, bencana seakan belum beranjak dari Palu. Banyak penyintas yang kini masih tinggal di tenda pengungsian, merasa putus asa saat menatap masa depan. Mereka masih berjuang dari hari ke hari untuk menata hidup.

Jumat (10/1/2020) siang, matahari begitu terik. Akan tetapi, sinarnya tak mampu mencerahkan tatapan Tommy. Ia duduk sendiri di bangku plastik di bawah salah satu tenda berukuran 6 meter x 3 meter di kompleks pengungsian di Kelurahan Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kedua bola matanya menatap kosong ke depan.

Editor:
Harry Susilo
Bagikan