logo Kompas.id
β€Ί
Humanioraβ€ΊSetelah Pengakuan Peran...
Iklan

Setelah Pengakuan Peran Masyarakat Adat dalam Perlindungan Hayati

Pengakuan peran masyarakat adat dalam konservasi memberikan sedikit harapan di tengah krisis kepunahan spesies.

Oleh
AHMAD ARIF
Β· 1 menit baca
Makruf, salah seorang anggota komunitas Punan Batu yang masih hidup secara berpindah-pindah di hutan sekitar Gunung Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, September 2022. Punan Batu merupakan kelompok pemburu peramu terakhir yang masih aktif di Kalimantan. Namun, kehidupan mereka semakin terancam oleh menyempitnya hutan yang menjadi sumber makan dan tempat hidup.
KOMPAS/AHMAD ARIF

Makruf, salah seorang anggota komunitas Punan Batu yang masih hidup secara berpindah-pindah di hutan sekitar Gunung Benau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, September 2022. Punan Batu merupakan kelompok pemburu peramu terakhir yang masih aktif di Kalimantan. Namun, kehidupan mereka semakin terancam oleh menyempitnya hutan yang menjadi sumber makan dan tempat hidup.

Untuk pertama kalinya, keberadaan masyarakat adat dan masyarakat lokal kini diakui dan diberi ruang untuk terlibat dalam pengambilan keputusan tentang pelestarian keanekaragaman hayati global. Perkembangan ini memberikan sedikit harapan di tengah krisis kepunahan spesies, kehilangan keanekaragaman genetik, dan ancaman keruntuhan ekosistem.

Pengakuan itu didapatkan setelah dua minggu negosiasi alot dalam Pertemuan ke-16 Konferensi para Pihak (COP16) Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati di Cali, Kolombia. Para delegasi akhirnya sepakat untuk membentuk Badan Tambahan (Subsidiary Body) berdasarkan Pasal 8j Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal yang akan memungkinkan masyarakat adat dan lokal berpartisipasi langsung dalam implementasi perlindungan hayati.

Editor:
ADHITYA RAMADHAN
Bagikan