Menkes: Peraturan Fitofarmaka Sudah Selesai
PP menyebutkan fitofarmaka sudah bisa masuk ke dalam Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional.
GENEVA, KOMPAS — Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penyusunan peraturan pemerintah atau PP terkait penggunaan dan pengembangan fitofarmaka sudah selesai. PP tersebut menyebutkan bahwa fitofarmaka sudah bisa masuk ke dalam Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional.
’PP sudah selesai. Ini pulang, saya paraf, dan menteri-menteri lainnya,’ kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Rabu (29/5/2024), di Geneva, Swiss.
Budi mengatakan, PP tersebut mengatur persoalan kesehatan secara umum, termasuk mencantumkan penggunaan dan pengembangan fitofarmaka. Salah satunya dengan memasukkan fitofarmaka ke dalam Formularium Nasional (Fornas) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
”Tentu fitofarmaka untuk bisa masuk Fornas harus mengikuti mekanisme yang sama dengan obat-obat kimia yang lain,” kata Budi.
Baca juga: Pemanfaatan Produk Fitofarmaka Didorong Lebih Luas
Pertimbangan untuk fitofarmaka juga sama dengan obat-obat berbahan baku kimia. Pertimbangan itu, antara lain, perlu pertimbangan asas rasio kemanfaatan dan harga (cost benefit ratio) yang sesuai.
Terkait upaya untuk memasukkan fitofarmaka dalam Fornas JKN, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menegaskan, pengaturan terkait fitofarmaka ini akan diatur dalam PP yang akan terbit. Namun, saat itu, Presiden tak menyebut kapan PP tersebut diterbitkan.
”Nanti dilihat di PP yang baru kelihatan semuanya. Ditunggu saja PP-nya,” ujar Presiden Jokowi saat diwawancarai wartawan di Jakarta, Rabu (3/4/2024).
Menanggapi kabar PP terkait fitofarmaka sudah selesai, Ketua Kolegium Ilmu Farmasi Indonesia Keri Lestari Dandan mengapresiasinya. Hal ini menjadi angin segar bagi industri farmasi dan pelaku farmasi di Indonesia.
Dengan aturan tersebut, diharapkan pemanfaatan produk fitofarmaka bisa semakin luas. Hal ini terutama dengan pemanfaatan produk fitofarmaka dalam pelayanan program JKN. ”Artinya, (produk fitofarmaka) ini akan digunakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Dengan begitu, industri herbal dalam negeri pun akan semakin berkembang,” ujarnya.
Itu akan semakin meningkatkan kepercayaan dokter dan masyarakat.
Keri menambahkan, komitmen pemerintah untuk menggunakan produk fitofarmaka juga menjadi dorongan untuk mewujudkan kemandirian bangsa di bidang kefarmasian, termasuk obat dan bahan baku obat.
”Pemanfaatan fitofarmaka yang semakin luas ini juga sekaligus dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, bahkan tidak menutup kemungkinan bisa dikembangkan untuk diekspor,’ kata Keri.
Sebelumnya, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Junaidi Khotib menambahkan, dengan dimasukkannya obat fitofarmaka dalam Fornas JKN, akan mendorong semua pihak melakukan terobosan dan mengembangkan fitofarmaka.
Kepercayaan dokter
Staf Khusus Menteri Bidang Ketahanan Industri Obat dan Alat Kesehatan Laksono Trisnantoro menyampaikan, peran dokter dalam meresepkan obat fitofarmaka berbasis kebutuhan medis pasien sangat penting. Kepercayaan pasien akan meningkat jika dokter mantap untuk meresepkan obat fitofarmaka.
Selain itu, kata dia, industri farmasi perlu memiliki strategi dengan mengalokasikan anggaran untuk penelitian klinis postmarket dalam monitoring efektivitas dan keamanan fitofarmaka. ”Ini penting karena ketika terbukti, itu akan semakin meningkatkan kepercayaan dokter dan masyarakat,” ujar Laksono.
Kualitas obat fitofarmaka harus melalui uji praklinis hingga uji klinis. Pengujian tersebut membuktikan keamanan, mutu, dan khasiat dari produk fitofarmaka.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disebutkan, fitofarmaka merupakan salah satu jenis obat bahan alam. Fitofarmaka didefinisikan sebagai obat bahan alam yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, ataupun pemulihan kesehatan.
Dekan Sekolah Farmasi ITB Prof I Ketut Adnyana mengatakan, diperlukan empat ekosistem untuk memajukan fitofarmaka demi kemandirian di bidang kesehatan. Ekosistem pertama adalah bahan baku yang terjamin.
Baca juga: Industri Fitofarmaka Butuh Riset dan Pengembangan
Ekosistem yang kedua, lanjut Adnyana, adalah teknologi dan SDM. Hal ini termasuk teknologi ekstraksi, teknologi pembuatan bahan baku, teknologi isolasi, dan formulasi.
Ekosistem ketiga, regulasi. Pihak-pihak terkait, seperti lembaga/institusi pemerintah, pengelola fasilitas kesehatan, peneliti, dan industri farmasi, harus duduk bersama.
Ekosistem keempat adalah aspek ekonomi dan klinisnya. Pengembangan produk fitofarmaka perlu dipetakan penyakit yang menjadi prioritas dan sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. (INA/WKM/TAN/FLO)