Tiga Koalisi Tak Lepas dari Kejahatan Ekologis
Tidak ada satupun dari ketiga koalisi parpol pendukung pasangan capres-cawapres bebas dari kejahatan ekologis.
Ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkontestasi di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 didukung oleh sejumlah koalisi partai politik. Koalisi parpol ini memiliki peran yang sangat penting dan signifikan dalam mengusung kandidatnya masing-masing.
Kemenangan capres-cawapres yang diusung tersebut akan menempatkan parpol di sistem pemerintahan Indonesia. Pada akhirnya, koalisi parpol yang memenangkan Pilpres akan memiliki peran dalam membuat kebijakan, termasuk di sektor sumber daya alam.
Meski demikian, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat tidak ada satupun dari ketiga koalisi parpol pendukung pasangan capres-cawapres tersebut yang bebas dari jejak kejahatan ekologis. Semua parpol terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam penghancuran hutan hingga berdampak terhadap penghidupanmasyarakat.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi Uli Arta Siagian mengemukakan, Walhi menggunakan pendekatan koalisi untuk melacak terkait jejak kejahatan ekologi secara spesifik di sektor kehutanan. Walhi melihat koalisi dan orang-orang di baliknya dengan lebih detail terkait perusakan hutan di sepanjang pergantian rezim.
“Presiden boleh berganti berkali-kali, tetapi sebenarnya tidak ada perubahan yang mendasar dalam konteks pengelolaan dan perlindungan hutan kita. Faktanya dari rezim ke rezim, hutan kita tetap dijadikan komoditas yang layak untuk dieksploitasi dan kemudian diserahkan ke korporasi untuk dirusak,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Senin (12/2/2024).
Berdasarkan catatan Walhi, empat partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan yang merupakan koalisi pengusung pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar memiliki peran dalam melepas kawasan hutan. Empat parpol dari koalisi ini yaitu Partai Nasdem, PKB, PKS, dan Partai Ummat.
Partai Nasdem merupakan partai pendukung rezim Presiden Joko Widodo yang telah menerbitkan paket kebijakan yang meliberalisasi hutan dan sumber-sumber penghidupan lainnya. Partai Nasdem juga merupakan partai dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini yang tercatat menerbitkan 1,4 juta hektar hutan untuk izin-izin korporasi.
Kemudian Walhi juga mencatat Koalisi Indonesia sebagai pengusung capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memiliki jejak kejahatan ekologis. Koalisi ini terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PBB, PSI, Gelora, dan Garuda.
Golkar merupakan partai penguasa di era Orde Baru atau Presiden Soeharto yang menerbitkan izin di sektor kehutanan seluas 6,1 juta hektar. Golkar juga menjadi penguasa di rezim Presiden BJ Habibie yang menerbitkan izin sektor kehutanan seluas 3,9 juta hektar.
Demokrat, PBB dan PAN adalah partai yang memiliki jejak kejahatan ekologis di sektor kehutanan paling tinggi. Tiga partai tersebut merupakan partai penguasa pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama 10 tahun atau dua periode kepemimpinan, SBY melepaskan kawasan hutan seluas 21,9 juta hektar kepada korporasi.
Sementara koalisi parpol pengusung pasangan capres-cawapres nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD juga berperan dalam pelepasan kawasan hutan kepada korporasi. Sebab, empat parpol yakni PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo merupakan koalisi yang turut mendukung kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun terakhir.
Baca juga : Pendanaan Politik dari Industri Kotor
Dari paparan data tersebut, Walhi menarik kesimpulan bahwa Koalisi Indonesia Maju yang merupakan pengusung pasangan Prabowo-Gibran, menjadi koalisi dengan jejak kejahatan kehutanan paling tinggi.Parpol maupun pihak dalam koalisi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pelepasan kawasan hutan seluas 31,9 juta hektar.
Perbandingan kepemimpinan
Dalam lembar fakta Jejak Kejahatan Ekologis Tiga Koalisi, Walhi juga memaparkan data pelepasan kawasan hutan pada masa kepemimpinan setiap presiden dari era Soeharto hingga Joko Widodo. Selama 32 tahun berkuasa, kepemimpinan era Soeharto tercatat telah menerbitkan 493 izin usaha di kawasan hutan seluas 6,1 juta hektar.
Meski tergolong singkat, tiga presiden setelah era Soeharto juga turut menerbitkan izin usaha di kawasan hutan. Kepemimpinan BJ Habibie menerbitkan 74 izin usaha di kawasan hutan seluas 3,9 juta hektar. Kemudian era kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gusdur menerbitkan 71 izin usaha di 2,2 juta hektar kawasan hutan. Sedangkan Megawati Soekarnoputri juga menerbitkan 45 izin usaha seluas 2,7 juta hektar.
Selama 10 tahun berkuasa, SBY menjadi presiden dengan catatan tertinggi karena menerbitkan 1.257 izin usaha di kawasan hutan hingga mencapai luasan 21,9 juta hektar. Adapun sepanjang 2014-2024, Jokowi tercatat menerbitkan 190 izin usaha seluas 1,4 juta hektar di kawasan hutan.
Uli menjelaskan, penerbitan izin usaha pada masa kepemimpinan Jokowi memang jauh lebih sedikit dibandingkan era SBY. Bahkan, luasan kawasan hutan juga terkecil dibandingkan rezim-rezim sebelumnya. Namun, hal ini terjadi bukan karena keberpihakan pemerintah terhadap kelestarian ekologis, melainkan sudah tidak ada lagi kawasan hutan yang tersisa.
“Meskipun era Jokowi tidak lebih banyak mengeluarkan izin dibandingkan era sebelumnya, tetapi ada persamaan dengan rezim Orde Baru yakni terkait dengan paket kebijakan. Pada masa Jokowi setidaknya kami melacak 11 kebijakan atau 11 produk hukum yang menjadi karpet merah pengeksploitasian sumber-sumber penghidupan rakyat,” tuturnya.
Pandangan paslon
Juru Bicara Tim Nasional Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Andi Wira Pratama menyebut bahwa partai pengusung pasangan Anies-Muhaimin masuk dalam kategori partai menengah. Artinya, mereka memiliki suara yang sama-sama kuat dalam proses pengambilan kebijakan. Ia juga menjamin ketika Anies terpilih dan menjadi presiden belum tentu kebijakan yang diambil akan menuruti atau mengikuti kepentingan partai.
“Pasti akan ada dinamika politik, kompromi, dan pertarungan di dalam proses pengambilan kebijakan. Jadi, Pak Anies belum tentu akan setuju dengan partai pengusung. Apalagi, ketiga partai pengusung tetap membutuhkan sosok Pak Anies untuk kepentingan elektoral,” ujarnya dalam diskusi terkait deklarasi ekonomi hijaudi Jakarta, Senin (5/2/2024).
Dewan Pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Satya Heragandhi juga menyebut bahwa Ganjar-Mahfud memiliki komitmen terhadap lingkungan. Ia pun menyinggung beberapa proyek pembukaan kawasan hutan yang menyebabkan deforestasi seperti food estate yang dicanangkan untuk mengatasi krisis pangan, tetapi kurang tepat.
Satya menekankan bahwa mencegah deforestasi merupakan upaya yang paling murah dalam mengurangi emisi karbon dibandingkan upaya lain seperti transisi energi bersih. Bahkan, upaya mencegah deforestasi ini 10 kali lipat lebih murah dibandingkan transisi energi sehingga kawasan hutan harus tetap dijaga kelestariannya.
Baca juga : Menanti Komitmen Lingkungan Para Tokoh di Tahun Politik
Sementara itu, Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming, Drajad Wibowo juga menegaskan komitmen perlindungan terhadap lingkungan. Salah satu upaya perlindungan ini tertuang dalam dalam dokumen visi-misi paslon yang menyatakan bahwa izin usaha harus memenuhi syarat kelestarian sumber daya alam dengan cara sertifikasi.