Jurnalis Belum Bebas dari Intervensi Pemilik Media
Jurnalis belum sepenuhnya bebas dari intervensi pemilik media yang berafiliasi dengan partai atau kepentingan politik.
JAKARTA, KOMPAS – Independensi menjadi kunci bagi jurnalis dan media dalam membuat berita serta menjalankan fungsi kontrol sosial. Namun, jurnalis di Indonesia belum sepenuhnya bebas dari intervensi pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik atau kepentingan politik tertentu.
Intervensi tersebut telah mereduksi independensi ruang redaksi. Imbasnya, jurnalis berpotensi menjadi partisan, bahkan tidak sedikit tergiur menjadi calon anggota legislatif yang afiliasi politiknya sejalan dengan pemilik media. Padahal, pers seharusnya bekerja untuk kepentingan publik.
Riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan konsultan dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) terhadap 1.300 jurnalis menunjukkan 45,5 persen responden tidak mengetahui prinsip ”pagar api” yang memisahkan antara berita dan iklan atau redaksi dan bisnis. Bahkan, 22,9 persen responden menyatakan pernah menampilkan iklan politik sebagai berita.
Peneliti di PR2Media, Engelbertus Wendratama, mengatakan, minimnya penghormatan terhadap prinsip pagar api itu menjadi salah satu persoalan paling menonjol terkait kapasitas jurnalis dalam peliputan Pemilu 2024. Tantangan berikutnya adalah kelindan kepemilikan media dengan politik praktis yang diikuti intervensi ke ruang redaksi oleh pemilik media.
”Seiring ada intervensi pemilik media, para jurnalis bersikap partisan juga. Jurnalis tergoda menjadi calon anggota legislatif atau minimal menjadi influencer di media sosial,” ujarnya dalam diskusi daring ”Kapasitas Jurnalis dalam Meliput Pemilu 2024”, Senin (12/2/2024).
Riset dengan metode kuantitatif dilakukan melalui survei terhadap 1.300 jurnalis dari 38 provinsi di Indonesia. Survei berlangsung pada Desember 2023 sampai Januari 2024. Sementara metode kualitatif dilakukan dengan menggelar diskusi kelompok terarah (FGD) yang melibatkan perwakilan responden survei, regulator media, regulator pemilu, asosiasi jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil.
Baca juga: Jaga Kepercayaan Publik di Tahun Politik
Para responden merupakan jurnalis media daring, cetak, televisi, radio, dan lintas platform. Jabatannya pun beragam, mulai dari reporter, presenter, fotografer, videografer, editor, redaktur, hingga pemimpin redaksi.
Dalam survei itu, 156 responden (12 persen) menyatakan perusahaan tempatnya bekerja terafiliasi atau mendukung kandidat atau parpol tertentu dalam Pemilu 2024. Terdapat 108 jurnalis (8,3 persen) yang menyatakan tidak memiliki kebebasan dalam meliputi pemilu.
Wendratama menyebutkan, persoalan etika jurnalistik dalam peliputan Pemilu 2024 menjadi keprihatinan yang paling banyak disampaikan dalam FGD. Selain itu, adanya keberpihakan media dan jurnalis dalam memberitakan pemilu akibat intervensi atau afiliasi politik pemilik media.
”Isu selanjutnya adalah mengupayakan standar kelayakan upah jurnalis sebagai buruh yang selama ini cukup terabaikan akibat tekanan ekonomi yang dialami oleh perusahaan media,” ucapnya.
Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito Madrim menuturkan, kapasitas meliput merupakan hal mendasar bagi wartawan dalam melakukan kerja jurnalistik. Namun, tidak jarang kapasitas itu juga berkelindan dengan kepentingan pemilik media. Hal ini memaksa jurnalis melayani kepentingan pemilik media.
Dalam survei itu, 156 responden (12 persen) menyatakan perusahaan tempatnya bekerja terafiliasi atau mendukung kandidat atau parpol tertentu dalam Pemilu 2024. Terdapat 108 jurnalis (8,3 persen) yang menyatakan tidak memiliki kebebasan dalam meliputi pemilu.
”Padahal, kalau kita cek di Undang-Undang Pers (Nomor 40 Tahun 1999), media atau pers sudah selayaknya melayani publik, bukan pemilik media. Persoalan ini kemudian menimbulkan rasa kurang percaya dari publik,” katanya.
Menurut Sasmito, kapasitas jurnalis akan menentukan kualitas karya jurnalistiknya. Dalam meliput Pemilu 2024, hal ini sangat dibutuhkan sebagai referensi yang valid bagi masyarakat untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang tepat.
Konglomerasi media
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, riset tersebut semakin menguatkan upaya untuk mewujudkan profesionalisme wartawan dan perusahaan media. Ia mengingatkan, pers bukanlah corongnya lembaga pemerintah. Pers mesti kritis sebagai wakil masyarakat dalam melakukan kontrol sosial.
”Inilah mengapa pers harus independen karena demokrasi antara hal yang sangat ideal dan hal yang realistis masih jauh dari harapan,” ujarnya.
Pers menghadapi berbagai tantangan di tahun politik. Pada pilkada sebelumnya, sejumlah calon kepala daerah membuat atau membeli media untuk digunakan berkampanye. Namun, setelah pilkada usai, kebanyakan media tersebut tidak diurus karena hanya digunakan untuk kepentingan sesaat.
”Tiga kali pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sebelumnya menunjukkan wajah konglomerasi media dan afiliasi politik pemilik media mereduksi independensi ruang redaksi,” katanya.
Ninik menambahkan, profesionalisme jurnalis harus ditopang oleh perusahaan pers yang sehat. Kesejahteraan wartawan yang tidak terjamin akan menggadaikan banyak hal.
Baca juga: Jebakan Algoritma di Tengah Banjir Berita ”Politainment”
”Wartawan dibayar (digaji) yang benar, dilindungi kesehatannya, dijamin keamanannya sehingga dalam bekerja berada dalam ruang paling aman. Terbebas dari intervensi mana pun, termasuk pemilik media,” ujarnya.
Ketua Bidang Advokasi dan Regulasi Media Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Agoez Perdana mengatakan, pedoman media siber dengan jelas menyebutkan media siber wajib membedakan dengan tegas antara produk berita dan iklan. Namun, terkadang media tidak membedakan dengan jelas antara berita dan advertorial.
”Sementara yang kerap dilakukan jurnalis adalah tidak bisa sepenuhnya independen. Tidak memberikan ruang pemberitaan yang sama antarkontestan,” ucapnya.