Akademisi Tolak Intimidasi pada Kebebasan Akademik
Sikap kritis akademisi terhadap situasi negara saat ini tidak berhenti, termasuk menolak intimidasi terhadap kampus.
JAKARTA, KOMPAS — Kampus harus menjadi benteng kejujuran, moral, dan perjuangan untuk menjaga tegaknya demokrasi serta penyelenggaraan pemerintahan dan negara sesuai hukum. Kampus juga menolak upaya indimidasi, tekanan, atau pembungkaman dari penguasa terhadap kebebasan akademik dan otonomi kampus karena akan melemahkan sendi-sendi dasar didirikannya perguruan tinggi atau universitas.
Pernyataan sikap yang menolak represi terhadap gerakan kampus dan akademisi yang menyuarakan pernyataan kritis dan kegelisahan terhadap pemerintah saat ini disampaikan Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA). Saat ini muncul fenomena yang diduga untuk mendisiplinkan kebebasan akademik kampus. Salah satunya adalah adanya sejumlah pernyataan perwakilan pimpinan perguruan tinggi (PT) yang memuji pemerintahan saat ini yang narasinya berbeda dengan banyak PT dan akademisi.
Ketua KIKA Satria Unggul Wicaksana Prakarsa di webinar pernyataan sikap Represi Kampus terhadap Aksi Menjaga Demokrasi yang Dilakukan oleh Sivitas Akademika Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia, Rabu (7/2/2024), mengatakan, kampus bergerak karena ”tidak ada asap jika tidak ada api”. Kampus mengkritisi Presiden dan netralitasnya menjelang Pemilu 2024 serta berbagai akrobat politik yang mempertaruhkan demokrasi dan penegakan hukum.
Baca juga: Kampus Serukan Keprihatinan atas Kontestasi Pemilu 2024
”Posisi kampus sebagai benteng moral, kejujuran, kebebasan akademik; mengalami tekanan, serangan, dan intimidasi oleh aparat. Suasana kebebasan akademik kita mencekam, khususnya bagi kampus yang telah bersuara. Kebebasan akademik berada di ujung tanduk,” ujar Satria.
Hingga saat ini, sudah ada 47 perguruan tinggi, organisasi nonpemerintah (NGO), dan organisasi masyarakat sipil (CSO) yang terus bergerak dan menampilkan aksi-aksi mengawal demokrasi. KIKA kini masih terus mengumpulkan laporan terkait represi terhadap kebebasan kampus.
”Insan akademik harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan,” kata Herdiansyah Hamzah dari KIKA.
Otoritas publik, lanjut Herdiansyah, memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah guna menjamin kebebasan akademik. Sebab, dalam UU Pendidikan Tinggi juga dinyatakan bahwa kebebasan akademik merupakan kebebasan sivitas akademika dalam pendidikan tinggi untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara bertanggung jawab melalui pelaksanaan Tridharma.
Selain itu, dalam mekanisme hukum dan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia, kebebasan untuk berkumpul, berserikat, dan menyampaikan aspirasi dalam dunia pendidikan tinggi merupakan hak yang melekat pada seluruh sivitas. Hal itu juga sebagai bagian dari kebebasan berekspresi serta bagian dari hak atas pendidikan.
Para akademisi memiliki independensi, kritis, dan obyektif, serta menjalani kebebasan profesi dan berpikir dalam kehidupan sehari-sehari.
Dengan demikian, perenggutan, pendisiplinan, bahkan serangan terhadap kebebasan akademik dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. ”KIKA menolak segala bentuk pendisiplinan dan atau pemaknaan netralitas yang diperuntukkan untuk pembatasan hak, baik yang dilakukan oleh pemimpin perguruan tinggi/pihak yang mengatasnamakan universitas maupun aparat penegak hukum,” ucap Satria.
Tidak berdasar
Guru Besar Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, bersuaranya banyak PT di Indonesia karena ada tanggung jawab moral dari akademisi untuk menyuarakan kebenaran, kejujuran, dan kewarasan nalar. Mereka ingin memberi kompas atau penunjuk arah pada masyarakat serta menjalankan kontrol kepada penyelenggara negara.
Oleh karena itu, apabila ada anggapan bahwan gerakan para akademisi ini dimobilisasi, pendapat ini tidak memiliki dasar yang sahih. ”Para akademisi memiliki independensi, kritis, dan obyektif, serta menjalani kebebasan profesi dan berpikir dalam kehidupan sehari-sehari. Sangat naif dan tidak masuk akal kalau akademisi mudah dimobilisasi,” tutur Sigit.
Sigit menjawab pertanyaan yang mencurigai para akademisi yang dinilai baru bersuara menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. ”Sejak lima tahun lalu, para akademisi sudah menyampaikan pandangan, kritik, dan masukan kepada pemerintah dan penyelenggara negara karena dipicu tata kelola negara yang ugal-ugalan. Ada politisasi hukum dalam UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Cipta Kerja, ataupun UU Minerba,” kata Sigit.
Baca juga: Habis Seruan dan Kritik Tajam Kampus, Terbitlah Video Apresiasi Rektor...
Kini sendi-sendi negara demokrasi tengah dirusak presiden dan pembantunya yang bersifat partisan dan inkonsisten. Di pengujung pemerintahan Presiden, tiga lembaga hasil reformasi mengalami kerusakan etik dan moral yang parah, yakni Mahkamah Konsititusi, Komisi Pemilihan Umum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga mengalami demoralisasi dan tidak mendapatkan kepercayaan dari publik karena ada kerusakan etika dan moral dari penyelenggaranya.
Sementara itu, Rina Mardiana dari IPB University mengatakan, kebebasan akademik jadi syarat esensial untuk demokrasi yang bermartabat. Kebebasan akademik PT mendukung penelitian dan kajian kirtis tanpa intervensi atau tekanan kekuatan politik dan ekonomi. ”Represi kampus merupakan pelanggaran serius HAM,” ujar Rina.
Herdiansyah Hamzah mengatakan, ada tiga klasifikasi intimidasi terhadap serangan kampus yang masif. Ada serangan/intimidasi fisik, salah satunya laporan mahasiswa di Jakarta yang berkonsolidasi untuk mengkritisi pemerintah di salah satu kampus swasta. Ia lalu didatangi orang menyerupai preman.
Lalu, ada upaya intimidasi yang lahir dari sekeliling Istana yang seolah-olah menganggap gerakan kampus diorkestrasi politik partisan. Selanjutnya, intimidasi dengan upaya fait acccompi di antara sesama akademisi. Ada pihak ingin meredam suasana dengan memanfaatkan birokrasi di kampus melalui pernyataan atau materi yang tiba-tiba substansinya memuji pemerintah dan tidak ada relevansi dengan gerakan yang dilakukan kampus saat ini.