Persoalan Mendasar Pendidikan Malah Luput dari Debat Capres
Debat capres 2024 terkait isu pendidikan dinilai belum menawarkan terobosan untuk mengurai masalah dasar pendidikan.
JAKARTA, KOMPAS — Ketiga calon presiden 2024 dinilai belum menawarkan terobosan serius terkait perbaikan kualitas pendidikan serta sistem pendidikan yang lebih berkeadilan. Tawaran inovatif untuk menjawab masalah yang sudah turun-temurun tersebut masih normatif.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, dari debat kelima atau pamungkas yang diikuti ketiga calon presiden (capres) 2024, Minggu (4/2/2024) malam, sebenarnya ada beberapa topik pendidikan yang mencuat saat debat. ”Sayangnya, tidak satu pun dapat dimanfaatkan dengan baik oleh para kandidat. Semua jawaban bersifat biasa-biasa saja, tanpa ada terobosan baru dan tawaran sebuah sistem pendidikan yang lebih berkeadilan,” kata Ubaid, Senin (5/2/2024), di Jakarta.
Hal senada disampaikan Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim. Sejauh ini, gagasan pendidikan ketiga capres masih bersifat gimik dan normatif saja. Satriwan menyayangkan ketiga capres belum memperhatikan data-data nyata aktual dan belum menawarkan solusi konkret yang menunjukkan ragam masalah kualitas pendidikan Indonesia.
Baca juga: Menakar Komitmen Capres pada Pendidikan
”Menyimak debat capres isu pendidikan, P2G menilai mereka belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional,” katanya.
Ubaid menyinggung soal anggaran pendidikan 20 persen dalam pertanyaan saat debat baru dimulai. Hal ini dikaitkan dengan kesejahteraan dan kompetensi guru. Sayangnya, semua kandidat gagal menjawab pertanyaan ini dengan inovasi gagasan atau sistem baru yang lebih berkeadilan bagi guru dan juga akan meningkatkan kompetensi guru dalam mendidik.
Ia memaparkan, dari data 2023 (berdasarkan Perpres Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN TA 2023), anggaran pendidikan sebesar Rp 612,2 triliun. Namun, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) hanya mengelola 13 persen atau setara dengan Rp 80,22 triliun. Mayoritas di antaranya dialokasikan ke kementerian/lembaga lain dan pembiayaan pendidikan (37 persen) serta juga ditransfer ke daerah serta dana desa (50 persen).
”Selama proporsi anggaran pendidikan semacam ini, meski angkanya 20 persen dari APBN, nyatanya tidak menjadikan program pendidikan dasar dan menengah atau Wajib Belajar 12 Tahun sebagai prioritas. Akibatnya, kualitas peserta didik akan terus jauh tertinggal dengan negara-negara tetangga kita,” ujar Ubaid.
Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri mengatakan, capres tidak menawarkan peta jalan atau desain besar pendidikan nasional yang gagal dibuat pemerintah sekarang. Peta jalan pendidikan ini harus menjadikan pendidikan sebagai satu sistem yang saling berkaitan, tidak parsial. Peta jalan ini harus juga disertai desain nasional tata kelola guru.
Tidak ada satu pun kandidat yang mempersoalkan soal status PTN Badan Hukum dan sistem yang tidak berkeadilan yang termaktub dalam UU Pendidikan Tinggi.
”Kami kira tidak perlu kebijakan berjilid-jilid seperti episode Merdeka Belajar era (Mendikbudristek) Nadiem Makarim ini. Cukup peta jalan pendidikan nasional yang menunjukkan bahwa kita memiliki peta jalan yang jelas untuk tujuan pendidikan nasional, dan melibatkan semua kalangan,” kata Iman.
Peta jalan yang dibuat tersebut, tambah Iman, bukan hanya mengikuti tren global dan industri pendidikan yang makin teknologi sentris. Pembuatan beragam platform pendidikan dan pembelajaran telah menjadi persoalan bagi guru, dosen, siswa, sekolah, dan sistem data pendidikan nasional.
Perguruan tinggi
Terkait pendidikan tinggi, Ubaid menilai tidak ada solusi konkret untuk menghentikan agenda liberalisasi di pendidikan tinggi. Pertanyaan soal uang kuliah tunggal (UKT) mahal di perguruan tinggi negeri ini juga gagal dimanfaatkan oleh para kandidat untuk membuat kebijakan baru dan skema baru dalam pembiayaan di perguruan tinggi. Semua capres dinilai main aman dan tidak punya keberpihakan yang jelas.
Ubadi mengutip pernyataan Ganjar, ”Hentikan liberalisasi pendidikan.” Sementara Anis mengatakan, urusan pembiayaan adalah tanggung jawab negara dan orangtua, sedangkan perguruan tinggi fokus ke pendidikan dan urusan akademik.
”Saya justru mempertanyakan, bagaimana ini ide semua bisa terwujud jika status perguruan tinggi kita masih PTN Badan Hukum yang dipayungi oleh UU No 12 Tahun 2012,” ujar Ubadi.
Baca juga: Orangtua Indonesia Makin Sulit Biayai Kuliah Anak
Jika para kandidat itu menginginkan perubahan sistem yang kini dianggap sebagai liberalisasi pendidikan, lanjut Ubaid, ide terobosannya harus berani menghapus status PTN Badan Hukum. Ia menilai status PTN Badan Hukum ini sebagai biang kerok mahalnya biaya kuliah. Sayangnya, tidak ada satu pun kandidat yang mempersoalkan soal status PTN Badan Hukum dan sistem yang tidak berkeadilan yang termaktub dalam UU Pendidikan Tinggi.
Kesejahteraan guru
Ubaid mengatakan, problem guru yang tidak sejahtera dan kompetensinya yang masih rendah berpotensi masih berlanjut pada tahun-tahun mendatang. Problem ini diduga akan berkelanjutan. Ia beralasan semua jawaban capres tidak ada tawaran yang inovatif untuk menjawabnya.
”Anis bilang akan angkat guru honorer. Tapi, sistem yang ditawarkan apa? Bagaimana caranya? Masih tidak jelas,” kata Ubaid.
Baca juga: Jalan Panjang Kesejahteraan Guru
Ia mengatakan, sejak zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono sampai Jokowi, hal serupa dijanjikan. Namun, kenyataannya, hingga kini masih ada jutaan guru honorer yang nasibnya terkatung-katung.
”Bahkan, direncanakan (menurut Kemendikbudristek), mereka akan dimasukkan dalam marketplace. Ini sangat berbahaya dan menginjak-injak profesi guru, sebab tidak adanya sebuah sistem yang menjamin kesejahteraan dan perlindungan atas profesi guru,” ujar Ubaid.
Ide ini ternyata juga disetujui capres Prabowo yang juga menambahkan soal kebocoran dana pendidikan. ”Soal sektor pendidikan masuk pusaran kasus korupsi, kan, sudah lama, ini isu lama. Sayangnya, lagi-lagi tawarannya apa? Seharusnya tim sudah mengkaji kelemahan sistem yang sekarang, lalu perbaikan sistemnya seperti apa yang ditawarkan,” ujar Ubadi.
Sementara Ganjar lebih menyoroti soal kesejahteraan guru yang solusinya berupa peningkatan gaji guru. Untuk peningkatan mutu, solusinya dengan pemanfaatan teknologi. Lagi-lagi, ungkap Ubaid, hal ini sejatinya tidak menawarkan apa-apa.
”Hari ini guru kita sudah ‘muntah-muntah’ soal kewajiban harus update aplikasi ini dan itu. Dan, ternyata memang, pelatihan guru melalui aplikasi ini gagal meningkatkan mutu guru,” ujar Ubadi.
Baca juga: Tahun 2024, Rekrutmen Guru PPPK Tetap Prioritas
Sementara Satriwan menyayangkan, dalam debat, para capres tak punya sedikit pun komitmen untuk mengangkat guru PNS. ”Hanya terlontar oleh capres 01 akan mengangkat guru honorer menjadi P3K. Ini sangat disayangkan, guru P3K itu sifatnya jalan keluar darurat, kok malah dijadikan solusi utama. Solusi kekurangan guru adalah dengan membuka rekrutmen guru PNS,” ungkap Satriwan.
Satriwan menegaskan, P2G mengajukan usul agar diterapkannya upah minimum guru non-ASN. ”Ini jauh lebih realistis dan akan dirasakan langsung oleh para guru yang tidak kunjung sejahtera,” tutur Satriwan.