Manusia Tidak Butuh Susu Sapi
Manusia dewasa sejatinya tidak perlu minum susu. Namun, anak masih disarankan minum susu karena pola makannya terbatas.
Dalam kerajaan animalia, manusia adalah satu-satunya spesies yang meminum susu hingga dewasa dan itu pun susu dari hewan lain. Selama ribuan tahun, susu telah menjadi bahan pangan utama dalam beberapa budaya.
Globalisasi dan industrialisasi membuat susu seolah menjadi makanan utama di seluruh dunia meski manfaat susu sejatinya dapat diperoleh dari bahan pangan lainnya.
Salah satu program calon presiden dan wakil presiden yang akan bertanding pada Pemilu 2024, yakni menjanjikan program gizi seimbang dan gerakan emas (emak-emak dan anak-anak minum susu) untuk mencegah tengkes (stunting) di Indonesia. Program ini merupakan bagian dari upaya capres-cawapres tersebut untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.
Dorongan industri membuat sebagian orang masih menganggap susu sebagai bahan makanan utama. Pada masa pemerintahan Orde Baru, Indonesia memiliki slogan makanan bergizi yang amat populer hingga kini, yaitu ”4 Sehat 5 Sempurna”. Makan bergizi kala itu dianggap sempurna jika dilengkapi dengan segelas susu.
Baca juga: Susu Formula Bukan Solusi Mengatasi Tengkes
Namun, pemerintah sudah mengubah slogan itu dengan konsep ”Tumpeng Gizi Seimbang” dan ”Isi Piringku”. Slogan lama dianggap hanya mengampanyekan jenis makanan, tetapi tak menggambarkan banyaknya variasi dari tiap jenis makanan dan berapa porsi yang dibutuhkan dari setiap jenis itu untuk dikonsumsi sehari-hari.
Susu juga bukan lagi dianggap sebagai penyempurna gizi masyarakat. Dalam pedoman gizi seimbang, susu dikelompokkan dengan lauk-pauk. Keberadaannya untuk memenuhi gizi masyarakat bisa digantikan bahan pangan atau lauk lainnya.
Masyarakat di kepulauan Nusantara umumnya tidak mengenal susu dalam hidangan mereka. Kondisi serupa ditemui dalam ragam kuliner Indo-China atau negara Asia Timur lainnya.
Meski sejak lama mengenal kerbau atau sapi, masyarakat umumnya hanya memanfaatkan daging atau tenaganya. Budaya minum susu di Indonesia dikenalkan oleh Belanda sekitar abad ke-19.
Kini, konsumsi susu meluas seiring kuatnya iklan industri. Konsumsi masyarakat terhadap susu dan produk turunannya, seperti keju, mentega, atau yoghurt, terus meningkat. Seperti ditulis Kompas, 2 Juni 2023, kebutuhan susu di Indonesia pada 2022 mencapai 4,4 juta ton, tetapi hampir 80 persennya dipenuhi dari impor.
Pola konsumsi susu masyarakat Indonesia pun berbeda dengan masyarakat Eropa yang terbiasa minum susu cair murni sejak anak lepas dari masa susuan.
Baca juga: Susu Kental Manis Sudah Jadi ”Sahabat” sejak Kanak-kanak
Masyarakat Indonesia umumnya meminum susu cair dengan tambahan gula atau susu berperisa. Sebagian yang lain meminum susu dalam bentuk bubuk. Bahkan, masih ada masyarakat yang menganggap kental manis sebagai susu.
Budaya baru
Meminum susu sapi adalah kebiasaan baru manusia, bukan bawaan lahir. Manusia diperkirakan mulai meminum susu sapi sejak 9.000 tahun yang lalu.
Seperti dikutip dari National Geographic, 6 September 2023, dugaan tersebut berasal dari ditemukannya tempat lemak susu di dekat laut Marmara, Turki. Kemampuan manusia memerah susu sapi itu diperkirakan lebih dulu terjadi sebelum manusia menemukan panci.
Kebiasaan minum susu kambing baru muncul belakangan. Analisis terhadap plak gigi kuno di Afrika Timur memprediksi manusia minum susu kambing sejak 6.000 tahun lalu. Sementara penggunaan susu sapi untuk menyapih bayi manusia ditaksir mulai terjadi pada zaman perunggu atau sekitar 3.000 tahun lalu.
Susu sapi terancang untuk anak sapi, bukan bagi manusia. Karena itu, sebaik apa pun komposisi susu formula, air susu ibu (ASI) tetap paling baik untuk bayi manusia.
Bukan hanya tentang kandungan nutrisi dan non-nutrisinya, jumlah dan komponen penyusun ASI sangat dinamis, baik saat awal atau akhir menyusui, saat pagi atau malam hari, hingga saat bayi baru lahir sampai bayi berumur dua tahun.
Namun, banyak manusia meneruskan kebiasaan minum susu itu setelah mereka disapih. Karena susu ibu sudah tak diproduksi, mereka bergantung pada susu hewan lain, terutama sapi. Kelaziman itu berlanjut hingga manusia dewasa. Padahal, dua dari tiga orang di seluruh dunia diperkirakan mengalami intoleransi laktosa.
Susu sapi dianggap bergizi karena banyak mengandung protein, kalium, kalsium, dan sejumlah vitamin, seperti D, A, B2, dan B12, dan B2. Susu juga banyak mengandung niasin, fosfor, zat besi, karbohidrat, dan sejumlah mineral lain.
Susu baik untuk kesehatan gigi dan tulang, memelihara jantung, mendukung kinerja otak, hingga meningkatkan kualitas tidur.
Tingginya kandungan nutrisi susu membuat banyak orangtua Indonesia mengandalkan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, khususnya saat anak sedang malas makan.
Orangtua merasa aman jika anak enggan makan sepanjang mereka masih mau minum susu. Bahkan, sebagian orangtua memberikan susu kepada anak, khususnya susu kemasan, sebagai bentuk peningkatan status sosial mereka di masyarakat.
Sayangnya, susu yang diberikan untuk anak umumnya susu kemasan yang kaya gula dan perasa, bukan susu murni. Selain rasanya menjadi lebih enak, penggunaan susu kemasan juga praktis.
Namun, anak bisa minum hingga beberapa kemasan dalam sehari. Akibatnya, bukan manfaat susu yang mereka peroleh tetapi justru dampak buruk gula, mulai dari obesitas, perubahan suasana hati, meningkatnya kecemasan dan depresi, hingga mendorong perilaku agresi.
Peneliti nutrisi dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Harvard TH Chan Amerika Serikat, Vasanti Malik, seperti ditulis USA Today, 29 November 2019, mengatakan susu (murni, tanpa gula tambahan) dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi anak yang memiliki pola makan terbatas dan sedang dalam fase pertumbuhan cepat.
Baca juga: 1.001 Manfaat Air Susu Ibu
Namun, orang dewasa tidak membutuhkan susu sapi. ”Orang dewasa cenderung memiliki pola konsumsi bervariasi sehingga memungkinkan untuk bisa memenuhi kebutuhan gizi dari makanan lain,” tuturnya. Selain itu, pertumbuhan orang dewasa umumnya sudah stabil sehingga kebutuhan nutrisinya tak terlalu tinggi.
Kandungan kalsium pada susu bisa dipenuhi dari sayuran hijau, seperti bayam dan brokoli, kacang-kacangan, kedelai, ikan, jeruk, dan alpukat. Demikian pula zat gizi lain dalam susu bisa dipenuhi dari berbagai sayur, buah, atau kacang-kacangan lain. Semakin beragam jenis makanan yang kita konsumsi, kian besar pula manfaat kesehatan yang bisa kita peroleh.
Dosen nutrisi dan dietetik King’s College London, Inggris, Sophie Medlin di The Conversation, 14 Desember 2016, menulis mengonsumsi susu kaya kalsium seringkali diasumsikan baik untuk menjaga tulang.
Nyatanya sejumlah studi membuktikan, tidak peduli berapa banyak kalsium yang dikonsumsi dari makanan, risiko patah tulang pada orang dewasa tetap sama.
Bukti-bukti dampak konsumsi susu atau tidak meminum susu sepertinya belum selaras. Studi menunjukkan kasus patah tulang pinggul pada masyarakat China dan Jepang yang makanan tradisionalnya kurang menggunakan susu 150 persen lebih tinggi dibandingkan masyarakat kulit putih di Amerika atau Eropa.
Namun, studi Studi Yu-ming Chen dan rekan di British Journal of Nutrition, Mei 2006, menunjukkan perempuan China pascamenopause memiliki kerapatan massa tulang lebih tinggi hanya dari rajin mengonsumsi buah dan sayur. Tingginya kerapatan tulang meminimalkan terjadi osteoporosis dan patah tulang.
Kekuatan tulang pada seseorang tidak ditentukan asupan kalsium mereka saat mereka dewasa. Kepadatan tulang seseorang justru ditentukan dari pola makan mereka saat masih anak-anak dan remaja. Kondisi ini membuat anak-anak dengan alergi susu sapi umumnya memiliki masalah kekuatan tulang.
”Meski asupan susu saat anak-anak penting untuk perkembangan kesehatan tulang mereka, mengonsumsi susu saat dewasa tampaknya tidak menurunkan risiko patah tulang,” tulis Medlin.
Intoleransi
Selain tidak dibutuhkan, rutin mengonsumsi susu sapi saat dewasa justru memiliki risiko kesehatan. Risiko paling umum yang banyak dialami masyarakat yakni mengalami intoleransi laktosa, yaitu ketidakmampuan tubuh mencerna laktosa atau gula alami dalam susu.
Intoleransi laktosa atau disebut malabsorpsi laktosa membuat penderitanya diare, mual, kembung, perut bergas hingga perut kram sesudah 30 menit sampai 2 jam setelah mengonsumsi produk yang mengandung susu.
Meski asupan susu saat anak-anak penting untuk perkembangan kesehatan tulang mereka, mengonsumsi susu saat dewasa tampaknya tidak menurunkan risiko patah tulang.
Dikutip dari situs Mayo Clinic, gangguan ini sejatinya tidak berbahaya. Namun, gejala yang muncul bisa membuat seseorang tidak nyaman dan mengganggu aktivitas harian walau mereka bisa mengatasi masalah yang terjadi tanpa berhenti mengonsumsi susu dan produk olahannya.
Ketidakmampuan tubuh mencerna laktosa itu disebabkan usus kecil menghasilkan terlalu sedikit laktase atau enzim yang bertugas memproses laktosa agar bisa diserap usus dan masuk ke darah.
Laktase dalam jumlah tinggi diproduksi tubuh saat masih bayi sehingga mereka bisa mencerna ASI. Produksi laktase mulai berkurang setelah mereka disapih dan terus menurun saat dewasa. Karena itu, malabsorpsi laktosa biasanya ditemukan pada orang dewasa, bukan bayi.
Meski demikian, studi Christian L Storhaug dan rekan di The Lancaet Gastroenterology & Hepatology, 6 Juli 2017, memperkirakan 68 persen manusia mengalami intoleransi laktosa. Malabsorpsi ini lebih banyak ditemukan di Asia dan Afrika yang memang tidak banyak menggunakan susu dalam hidangan mereka.
Baca juga: Program Susu Gratis Dapat Saingan, Kubu Ganjar-Mahfud Janjikan Telur Gratis
Sementara prevalensi intoleransi laktosa lebih rendah banyak ditemukan di Eropa. Kondisi ini tak hanya dipicu tingginya konsumsi susu sapi mereka, tetapi tubuh mereka bermutasi sehingga memproduksi laktase meski mereka tidak bayi lagi. Proses adaptasi nenek moyang mereka terhadap susu sapi membuat orang Eropa kini memiliki ketahanan baik pada susu sapi.
Selain itu, susu murni umumnya mengandung lemak jenuh tinggi sehingga dikhawatirkan meningkatkan kolesterol dan menaikkan risiko terkena penyakit jantung.
Namun, sejumlah ahli menyebut lemak jenuh yang dihasilkan secara alami di tubuh binatang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan lemak jenuh di makanan olahan. Lemak susu juga dianggap bermanfaat untuk melarutkan vitamin hingga penting untuk menjaga daya tahan tubuh.
Karena itu, lemak jenuh dalam produk alami termasuk susu dianggap masih aman. Meski demikian, Malik menyarankan orang dewasa yang mengonsumsi susu untuk memilih jenis susu yang rendah lemak.
Susu nabati juga bisa dijadikan pengganti susu sapi, tetapi susu nabati, seperti susu kedelai atau susu almond, juga belum tentu lebih baik dari susu sapi, apalagi jika ditambahi gula.
Namun, susu nabati adalah pilihan terbaik bagi mereka yang menimbang aspek lingkungan karena emisi karbon dari susu nabati jauh lebih rendah dibandingkan emisi yang dihasilkan dalam memproduksi susu sapi.
Meski demikian, jika tujuannya untuk mengatasi tengkes, pemberian telur seperti yang dilakukan selama ini oleh pemerintah terbukti efektif menurunkan tengkes. Di era Orde Baru, telur rebus banyak dibagikan kepada anak yang dibawa ke posyandu atau diwajibkan untuk dibawa anak-anak sekolah dasar ke sekolah.
Di masa kini, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional juga gencar mengampanyekan makan telur untuk menurunkan tengkes. Pemerintah juga memberikan bantuan sosial pangan yang salah satunya berisi telur dalam program keluarga harapan.
Meski terlihat sepele, pemberian telur bukan sekedar program yang muncul tiba-tiba. Banyak studi di berbagai negara menunjukkan manfaat mengonsumsi telur setiap hari guna mencegah dan mengurangi risiko tengkes.
Selain itu, telur lebih murah dan mudah diakses masyarakat. Meski dalam situasi tertentu Indonesia mengimpor telur, persentase telur impor itu sangat sedikit dibandingkan produksi telur nasional. Industri telur nasional masih bisa diandalkan untuk menyuplai kebutuhan telur dibandingkan memenuhi kebutuhan susu sapi.
Karena itu, mengatasi tengkes tidak harus dengan konsumsi susu. Cukup dengan bahan pangan bergizi, murah, dan mudah ditemukan di lingkungan sekitar. Bagaimanapun, tengkes tidak selalu berkaitan dengan kemiskinan atau bahan pangan yang mahal, tetapi kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makanan bergizi di sekeliling mereka.