Belajar dari Wong Cilik Mendamba ”Ratu Adil”
Kisah tentang bagaimana rakyat membangun harapan akan datangnya ”Ratu Adil” sudah muncul sejak masa penjajahan.
Setiap lima tahun, kita selalu menantikan sosok pemimpin baru yang diharapkan bisa membawa pada keadilan dan kemakmuran bersama. Narasi tentang bagaimana rakyat membangun harapan sebenarnya sudah lama tergambar dalam perlawanan wong cilik sejak masa penjajahan.
Empat puluh tahun lalu, ketika bekerja di harian Kompas, wartawan senior Sindhunata sering diberi tugas untuk meliput kisah-kisah hidup rakyat jelata atau wong cilik. Dari situlah, ia merefleksikan sejarah perlawanan orang-orang kecil yang tecermin dari penderitaan sekaligus harapan mereka.
Pengalamannya bergulat dengan rakyat jelata saat menjadi wartawan itu kemudian ditumpahkan dalam disertasinya tentang konsep ”Ratu Adil” saat menjalani studi doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat Jesuit (Hochschule für Philosophie, Philosophische Fakultät) di Muenchen, Jerman, 1992. Di sinilah, ia menuliskan filsafat harapan wong cilik atau narasi tentang perlawanan sekaligus bagaimana wong cilik membangun harapan, mulai dari abad ke-19 sampai abad ke-20.
Baca juga : Politik Ratu Adil
Disertasi yang dikerjakan Sindhunata 31 tahun silam itu akhirnya dibukukan penerbit Gramedia Pustaka Utama dalam bahasa Indonesia berjudul Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik (2024). Secara kebetulan, buku ini lahir menjelang momen Pemilihan Umum 2024, ketika kita menantikan kedatangan seorang pemimpin yang dalam tradisi Jawa sering disebut sebagai ”Ratu Adil”.
Dalam rangkaian sejarah, ”Ratu Adil” betul-betul dianggap sebagai tumpuan harapan orang-orang kecil yang memang sejak dahulu selalu menjadi subyek—yang dalam istilah sejarah—tanpa arsip, tanpa dokumen, dan tanpa aksara alias bisu. Di sinilah, Sindhunata mencoba menyuarakannya.
Menggandeng Ubrux
Sindhunata berpikir, karena imajinasi orang kecil begitu tinggi, maka tulisan ini sebaiknya diekspresikan pula dalam bentuk seni rupa. Karena itulah, ia menggandeng perupa Budi Ubrux yang dianggapnya mempunyai kepekaan terhadap perjuangan orang-orang kecil, sesuai dengan latar belakang kehidupannya. Sindhunata memberikan kemerdekaan bagi Ubrux untuk membuat interpretasi dari perjuangan orang-orang kecil dalam tradisi ”Ratu Adil”.
Bagi mereka berdua, kolaborasi narasi dan seni rupa ini menjadi semacam imajinasi sosial dan imajinasi sejarah, di mana harapan itu bisa diekspresikan secara sangat estetis, tetapi sekaligus juga menunjukkan kemuraman karena mengisahkan suatu penderitaan rakyat yang merindukan pencerahan yang mereka nanti-nantikan sebagai ”Ratu Adil”.
Keinginan Soekarno untuk terciptanya suasana masyarakat sejahtera dengan hasil panen yang ’ijo royo-royo’, ’loh jinawi’, adil, dan aman tidak bisa hanya direkam dalam ideologi, tetapi dalam suatu perwujudan keselamatan.
Suasana ini digali Sindhunata, mulai dari perjalanan sejarah perang Pangeran Diponegoro sampai perjuangan Sarekat Islam (SI), juga kisah keprihatinan Bung Karno tentang marhaenisme. Ini semua diletakkan dalam refleksi tentang filsafat harapan.
Dalam refleksi Sindhunata, perlawanan orang kecil itu dilukiskan dalam rupa adu ayam jago. Menurut penelitian Clifford Geertz, dalam konsep adu jago ada sesuatu yang bernilai metafisik, dan di situ kelihatan bahwa orang-orang kecil mempunyai semangat perlawanan. Ternyata, rakyat kecil pun memiliki naluri dan perjuangan tentang adu harapan yang disimbolkan dalam bentuk adu jago, seperti yang dilukis Ubrux.
Yang menarik lagi, Ubrux juga mampu mendeskripsikan sejarah Samin secara kuat dan mistis. Samin yang ideologinya sering disebut sebagai semacam bibit anarkisme awal justru menunjukkan kritik terhadap kekuasaan yang luar biasa. Paham Samin berpandangan, pada dasarnya manusia itu diciptakan sama sehingga agama mereka disebut sebagai agama Nabi Adam.
”Kita itu diciptakan sama, tetapi mengapa dibuat berbeda? Karena itulah, mereka melampiaskan ini dalam segala perjuangannya. Sosok masyarakat Samin ini dilukiskan secara sangat mistik karena memang tradisi perjuangan masyarakat kecil itu bisa digali justru dari batinnya,” kata Sindhunata.
Ikon berikutnya yang dilukiskan Ubrux adalah kesenian bantengan, sebuah pertunjukan seni masyarakat bawahan, bukan kesenian para priayi. Di Malang, Jawa Timur, bantengan mampu menyedot banyak sekali penonton, bahkan kadang sampai mengalahkan kemeriahan konser dangdut yang sangat populer, karena di situ orang bisa melampiaskan perlawanannya. Situasi ini diekspresikan dengan bagus oleh Ubrux.
Ada pula gambar tentang Bung Karno dengan konsepnya tentang masyarakat yang adil dan makmur. Lukisan ini menampilkan cita-citanya tentang ”Ratu Adil” seperti yang dikatakan Soekarno dalam pembelaannya terhadap hakim kolonial dalam sejarah Indonesia menggugat. Keinginan Soekarno untuk terciptanya suasana masyarakat sejahtera dengan hasil panen yang ijo royo-royo, loh jinawi, adil, dan aman tidak bisa hanya direkam dalam ideologi, tetapi dalam suatu perwujudan keselamatan.
”Saya mencoba menangkap suasana yang muncul dari buku Romo Sindhu, lalu terus-menerus berdiskusi dengan Romo dan Agus Noor sebagai kurator, juga dengan mencari referensi di internet,” ungkap Ubrux.
Kolaborasi Sindhunata dan Ubrux tak lepas dari peran Telly Liando, pencinta seni, kolektor, dan pemilik Ohana Gallery di Tangerang, yang menyiapkan studio khusus bagi Ubrux untuk menggarap lukisan-lukisan dan drawing-drawing-nya. ”Jika lukisan-lukisan berukuran besar ini dibuat di Yogyakarta, saya kira Ubrux tidak akan bisa menyelesaikannya. Di sini (Ohana Gallery), dengan mengikuti manajemen profesional, dia akhirnya bisa menghasilkan karya-karya lukisan masterpiece yang luar biasa,” kata Telly.
Setelah berproses dalam beberapa bulan, kerja keras ini akan ditampilkan dalam pameran seni Ratu Adil karya Budi Ubrux, Kamis (11/1/2024) pukul 19.00, di Bentara Budaya Jakarta, disusul bedah buku Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik karya Sindhunata pada Jumat (12/1/2024) pukul 16.00-17.30 di tempat yang sama. Adapun pameran seni Ratu Adil akan digelar hingga 18 Januari 2024.
Sindhunata berharap, filsafat harapan yang telah dibangun wong cilik ini tidak dilupakan di tengah gegap gempita pilpres. Jangan sampai, orang-orang hanya berebut kekuasaan dan lupa bahwa kekuasaan itu harus memandang ke belakang, seperti yang digambarkan Sindhunata dan Ubrux tentang harapan orang-orang kecil dalam sejarah perlawanan mereka.
Baca juga : Menjaga Harapan di Tengah Ketidakpastian
Harapannya, catatan dan karya seni rupa ini bisa menemukan relevansinya, bukan dalam segi politik praktis semata, melainkan juga dalam segi filsafat harapan. Jadi, bagaimana kita akan menemukan sang ”Ratu Adil”? Dalam benak-benak harap wong cilik itulah dia bersemayam.