logo Kompas.id
HumanioraFilsafat Stoisisme Mencegah...
Iklan

Filsafat Stoisisme Mencegah Stres karena Pilpres

Setidaknya ada empat dimensi stoisisme untuk memilih pemimpin, yakni kebijaksanaan, keberanian, keugaharian, dan keadilan.

Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
· 3 menit baca
Bentuk keprihatinan masyarakat dengan perilaku sebagian elite menjelang pemilu disampaikan melalui mural seperti terlihat di kawasan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (8/9/2023). Kritik sosial menjadi salah satu alat kontrol terhadap jalannya kekuasaan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Bentuk keprihatinan masyarakat dengan perilaku sebagian elite menjelang pemilu disampaikan melalui mural seperti terlihat di kawasan Setu, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (8/9/2023). Kritik sosial menjadi salah satu alat kontrol terhadap jalannya kekuasaan.

JAKARTA, KOMPAS — Setiap pesta demokrasi tidak selamanya menyuguhkan hal yang menyenangkan seperti pesta pada umumnya. Bagi beberapa orang, pesta lima tahunan ini bisa menjadi bibit stres. Butuh nalar yang rasional agar kontestasi para calon pemimpin negeri tidak mengganggu kesehatan jiwa selama pesta berlangsung.

Menjaga nalar rasional bisa didapat dari gagasan stoisisme yang menawarkan cara hidup yang menekankan dimensi internal manusia. Dengan begitu, dia bisa mengontrol diri dan melihat lebih dalam rekam jejak para calon pemimpin daripada mengedepankan pilihan emosional semata.

Stoisisme atau juga disebut stoa merupakan ilmu filsafat dari zaman Yunani Kuno yang didirikan oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 sebelum Masehi. Dalam filosofi ini, semua hal dalam hidup bersifat netral, tidak ada yang baik dan tidak ada yang buruk. Hal-hal yang menjadikan baik atau buruknya suatu hal adalah interpretasi kita terhadap hal tersebut.

Penulis buku Filosofi Teras, Henry Manampiring, menjelaskan, keterlibatan seseorang dalam proses demokrasi memang sebuah pilihan, tetapi hasil dari proses demokrasi itu pasti akan berdampak langsung kepada setiap masyarakat. Dengan demikian, lebih baik ikut ke bilik suara memilih pemimpin dengan rasional daripada tidak sama sekali.

”Pilihan politikmu tidak hanya menentukan nasibmu seorang, ada tanggung jawab moral pastisipasi ini. Pikirkan juga apakah pemimpin yang dipilih akan membawa keadilan bagi kaum miskin dan marjinal? Jadi, suka tidak suka, walau kamu tidak peduli politik, politik tetap akan menyeret kamu,” kata Henry dalam serial kelas Sekolah Basis 4.0 secara daring, Jumat (5/1/2024) malam.

Henry Manampiring, penulis.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Henry Manampiring, penulis.

Menurut dia, setidaknya ada empat dimensi stoisisme yang bisa digunakan untuk memilih pemimpin secara rasional, yakni kebijaksanaan, keberanian, keugaharian, dan keadilan. Pertama, kebijaksanaan pemimpin bisa dilihat rekam jejaknya saat membuat kebijakan, apakah memang mengutamakan kepentingan rakyat atau kelompoknya saja.

Kedua, seorang pemimpin harus berani berada di tengah dalam hal pro dan kontra serta konsisten dalam penerapannya. Ketiga, ugaharian dapat dilihat dari gaya hidup pribadi calon pemimpin: jika terlihat menggilai materi, bisa jadi godaan korupsinya tinggi. Dalam konteks umum, keugaharian bisa dilihat dari kebijakannya, hanya menghamburkan anggaran, atau memang dibutuhkan masyarakat.

Iklan

”Terakhir, keadilan, jangan merampas hak orang lain, atau hanya menguntungkan golongan tertentu. Ini tidak hanya pada manusia, tetapi juga menghormati hak-hak lingkungan. Kalau para filsuf stoa hidup pada zaman sekarang, mereka pasti akan bersuara (tentang) krisis iklim,” tutur Henry.

Psikologi massa dan masalah loyalitas itu tidak mudah, ini sangat berpotensi terjadi.

Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, Nova Riyanti Yusuf, menambahkan, para calon wakil rakyat, filosofi stoisisme bisa digunakan sebagai obat depresi atau penawar ekspektasi jika tidak terpilih pada hari pemungutan suara, 14 Februari mendatang. Sedari dini persiapkanlah diri untuk menghadapi kemalangan yang akan terjadi, termasuk gagal dalam Pemilu 2024.

Hal ini juga berlaku pada para pendukung calon pemimpin. Sebab, kata Novi, dampak gangguan kesehatan jiwa akibat pemilihan umum kini justru bergeser ke pendukungnya, bukan lagi para calon wakil rakyat yang gagal.

”Saat Pemilu 2019 tidak ada caleg gagal yang dirawat di Pusat Kesehatan Jiwa Nasional, tetapi ada pendukungnya yang dirawat. Psikologi massa dan masalah loyalitas itu tidak mudah, ini sangat berpotensi terjadi,” kata Nova.

Baca juga: Pemimpin Birokrasi Harus Memberikan Teladan

Para peserta aksi menolak hasil pemilu di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta, membubarkan diri, Selasa (21/5/2019). Para peserta aksi yang diberi waktu toleransi oleh polisi ini akhirnya  membubarkan diri dengan tertib.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para peserta aksi menolak hasil pemilu di depan Kantor Bawaslu RI, Jakarta, membubarkan diri, Selasa (21/5/2019). Para peserta aksi yang diberi waktu toleransi oleh polisi ini akhirnya membubarkan diri dengan tertib.

Gangguan stres akibat pemilu ini mulai dikenal sejak 2016 di Amerika Serikat yang digagas oleh Steven Stosny, seorang psikolog di Washington DC. Pemicunya, banyak orang, berita, informasi, dan obrolan terkait pemilu yang muncul terus-menerus lalu menyebabkan kecemasan dan stres di dalam diri mereka.

”Media sosial memperkuat dan memperbesarnya. Hal ini membuatnya terus terjadi sepanjang waktu. Jadi, Anda membawa ponsel ke mana-mana dan di dalamnya ada informasi tentang itu, sangat sulit untuk menghindarinya,” kata Steven, dikutip dari psychologytoday.

Gejalanya hampir sama dengan stres pada umumnya, mulai dari susah tidur, kecemasan yang tidak perlu, mudah tersinggung, hingga ketakutan tanpa alasan. Salah satu cara mengatasinya dengan memberi jeda dan mulai berpikir rasional.

Lihat juga: Arsip Foto ”Kompas”: Pemilu 2009, Diwarnai Sengkarut, Ditutup dengan Legawa

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan