Isu Kependudukan Berada di Titik Kritis di Era Pemerintahan Periode 2024-2029
Puncak bonus demografi sudah berakhir saat Presiden-Wakil Presiden hasil Pemilu 2024 bertugas. Di akhir masa bonus demografi itu, investasi manusia harus lebih masif dan tepat sasaran bagi semua kelompok populasi.
Siapa pun Presiden-Wakil Presiden yang terpilih pada Pemilu 2024 akan menghadapi tantangan besar dalam pembangunan kependudukan. Pada era mereka, jendela peluang yang merupakan puncak bonus demografi akan berakhir. Karena itu, peningkatan kualitas manusia harus dilakukan dengan cermat dan tepat agar Indonesia Emas 2045 yang dicita-citakan benar-benar bisa tercapai.
Bonus demografi dinikmati Indonesia secara nasional sejak 2012. Sesuai Proyeksi Penduduk Indonesia 2020-2050, jendela peluang atau puncak bonus demografi terjadi antara 2020-2024. Di masa ini, 100 penduduk produktif berumur 15-65 tahun menanggung 44 penduduk tidak produktif berumur kurang dari 15 tahun dan penduduk berusia lebih dari 65 tahun.
Sesudah itu masa jendela peluang itu, jumlah tanggungan penduduk produktif akan terus naik seiring lonjakan jumlah penduduk usia lanjut dan menurunnya jumlah anak-anak. Saat jumlah tanggungan 100 penduduk produktif mencapai 50 penduduk tidak produktif, maka bonus demografi akan berakhir dan diperkirakan terjadi pada tahun 2041.
Setelah bonus demografi berakhir, struktur penduduk akan berubah drastis. Meski jumlah penduduk usia produktif tetap besar, tanggungan mereka juga membesar. Karena itu jika masa bonus demografi yang tersisa tidak dimanfaatkan dengan baik, bonus tersebut justru akan menjadi bencana demografi.
”Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029 mempunyai andil besar dalam menetapkan fondasi pembangunan kependudukan sehingga bangsa Indonesia benar-benar bisa memanfaatkan bonus demografi dengan baik dan membawa Indonesia melompat menjadi negara maju dan kaya,” kata Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia Sudibyo Alimoeso, di Jakarta, Sabtu (23/12/2023).
Meski demikian, di kalangan pengambil kebijakan dan politisi masih terjadi mispersepsi, menganggap 2045 adalah masa bonus demografi, bahkan puncak bonus demografi. Padahal, dari proyeksi penduduk berdasarkan Sensus Penduduk 2020, bonus demografi sudah berakhir beberapa tahun sebelum Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaannya.
Baca Juga: Manusia Unggul, Bonus Demografi, dan Transformasi Digital
Selain itu, bonus demografi bukan sesuatu yang bersifat otomatis. Manfaat bonus demografi hanya bisa diraih jika Indonesia memiliki sumber daya manusia berkualitas, ketersediaan lapangan kerja, besarnya tabungan rumah tangga, dan tingginya keterlibatan perempuan di pasar kerja.
Tahun 2045, Indonesia diperkirakan akan memiliki 324,05 juta penduduk. Dari jumlah itu, ada 213,78 juta penduduk usia produktif umur 15-65 tahun, ada 63,55 juta anak berumur 0-14 tahun, dan sebanyak 47,34 juta penduduk berumur lebih dari 65 tahun.
Rombongan karyawan berjalan menyusuri deretan warung makan saat jam istirahat siang di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Selasa (21/11/2023). Menurut survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2023, jumlah angkatan kerja sebanyak 147,71 juta orang atau naik 3,99 juta orang dibanding Agusus 2022.
Jumlah laki-laki sedikit lebih banyak dari perempuan untuk kelompok penduduk umur 0-60 tahun, tetapi setelah 60 tahun akan lebih banyak perempuan. Selain itu pada tahun 2045, sebanyak 1 dari 5 penduduk Indonesia adalah warga lanjut usia berumur lebih dari 60 tahun.
Agar tepat sasaran, peneliti ekonomi kependudukan yang juga Kepala Institute for Advance Studies in Economics and Business Universitas Indonesia Turro S Wongkaren menilai pembangunan manusia untuk mencapai Indonesia Emas 2045 itu perlu dikelompokkan dalam tiga kategori.
Adapun tiga kategori tersebut, yaitu kelompok penduduk yang saat ini sudah lahir dan masuk angkatan kerja, kelompok yang sudah lahir, tetapi masih anak-anak berumur kurang dari 15 tahun, dan mereka yang saat ini belum lahir.
”Pembangunan ketiga kelompok penduduk itu membutuhkan pendekatan yang berbeda yang disesuaikan dengan siklus hidup manusia dari pembentukan janin sampai meninggal,” katanya.
Meski demikian, pola pikir pembangunan manusia sesuai siklus hidup mereka itu belum terlihat dari visi, misi, dan program kerja calon presiden dan calon wakil presiden hasil Pemilu 2024.
Mereka umumnya langsung membahas aspek dan dampak pembangunan kependudukan, seperti tentang sumber daya manusia, kemiskinan, teknologi, kesehatan, dan pendidikan. Tanpa adanya kerangka pikir yang utuh membuat proses pembangunan kependudukan dilakukan secara acak sehingga hasilnya pun sulit optimal.
”Secara implisit, ketiga capres-cawapres sudah memasukkan isu-isu kependudukan, tetapi mereka memandangnya dari aspek dampaknya, khususnya terkait kualitas sumber daya manusia. Toh memang tujuan akhir dari pembangunan kependudukan adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” tambah Sudibyo.
Baca Juga: Tanpa Terobosan, Bonus Demografi Bisa Berujung Bencana
Dari visi, misi, dan program kerja ketiga capres-cawpares untuk Pemilu 2024, pembangunan manusia yang mereka gagas sangat dipengaruhi oleh latar belakang profesional dan partai pendukung masing-masing pasangan.
Pasangan capres-cawapres nomor 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam misi ke-5 dan ke-6 fokus untuk membangun manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter, manusia yang tidak hanya sehat, cerdas, dan produktif, tetapi juga berakhlak dan berbudaya. Pembangunan manusia itu dilakukan berbasis pembangunan keluarga sebagai unit terkecil di masyarakat.
Sementara capres-cawapres nomor 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memasukkan isu kependudukan pada misi ke-4 tentang penguatan pembangunan sumber daya manusia mulai dari pemuda, perempuan, hingga penyandang disabilitas. Semua misi yang diemban dibuat dalam menjadi visi menuju Indonesia Emas 2045 dan memanfaatkan bonus demografi.
Adapun pasangan nomor 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD menempatkan pembangunan manusia Indonesia yang unggul, berkualitas, produktif dan berkepribadian dalam misi ke-1. Selain fokus pada pendidikan, mereka juga menggarisbawahi masalah kesehatan ibu dan anak, kesehatan mental, mendorong 1 keluarga miskin 1 sarjana, serta kesejahteraan guru dan dosen.
Dari visi dan misi capres-cawapres terpilih nantinya, tim Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang akan menerjemahkannya dalam kebijakan teknokratis dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Karena itu, tim Bappenas seharusnya sudah menyiapkan rancangan kebijakan itu agar bisa dijadikan pedoman kementerian dan lembaga terkait.
Penduduk 2045
Fokus pada pembangunan kualitas manusia membuat isu-isu tradisional kependudukan menjadi kurang terperhatikan. Bagaimana mengendalikan kuantitas penduduk, mengarahkan mobilitas penduduk, serta data kependudukan yang akurat sebagai dasar kebijakan pembangunan tidak menjadi prioritas.
Padahal, dengan akan beroperasinya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, hal itu mendorong migrasi penduduk signifikan dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang ada di tiga provinsi di Jawa ke kawasan IKN di Kalimantan Timur. Belum lagi perpindahan penduduk ke kota-kota penyangga IKN Nusantara, seperti Balikpapan dan Samarinda, dari berbagai wilayah di Indonesia.
Turro mengatakan isu migrasi menjadi persoalan penting di banyak daerah karena menjadi perebutan sumber daya antara warga lokal dan pendatang. Migrasi bisa menciptakan masalah sosial dan memicu konflik jika tidak diantisipasi dari awal karena mempertemukan dua kelompok masyarakat dengan latar belakang agama, budaya, aspirasi, dan kepentingan berbeda.
Belum lagi, tiap provinsi memiliki karakter kependudukan yang berbeda. Sebagian provinsi sudah memasuki bonus demografi sejak lama, tetapi ada pula provinsi yang tidak akan pernah mendapat bonus demografi.
Program pengendalian penduduk juga tidak bisa diterapkan di semua daerah karena sebagian provinsi memiliki kepadatan penduduk yang rendah atau mulai mengalami pelambatan pertumbuhan penduduk dan lonjakan warga lansia.
”Data kependudukan yang ada belum digunakan secara optimal oleh ketiga pasangan capres-cawapres untuk perencanaan pembangunan,” tambah Turro.
Kondisi kependudukan tahun 2045 sangat menantang. Penduduk Indonesia masih sangat besar, tetapi diperkirakan akan turun dari negara keempat dengan penduduk terbanyak menjadi negara keenam berpenduduk terbanyak setelah India, China, Amerika Serikat, Nigeria, dan Pakistan. Sebanyak 60 persen-70 persen penduduk akan tinggal di perkotaan.
Baca Juga: Bencana di Puncak Bonus Demografi
Jumlah penduduk yang besar itu juga akan diiringi peningkatan mobilitas penduduk yang besar, baik mobilitas jarak jauh, menengah, maupun jarak pendek. Kondisi itu membutuhkan penyiapan sistem dan infrastruktur transportasi yang selamat, aman, dan memadai, terutama di kota-kota besar dan antarkota. Dengan demikian, mobilitas tidak menjadi sumber stres dan kerugian ekonomi tinggi.
Umur harapan hidup (UHH) saat lahir pada 2045 diperkirakan mencapai 76,37 tahun, dengan 73,47 tahun untuk laki-laki dan 79,41 tahun bagi perempuan. Meningkatnya UHH penduduk merupakan konsekuensi dari perbaikan layanan dan teknologi kesehatan. Meski UHH-nya panjang, tubuh mereka makin ringkih karena kondisi genetika dan gaya hidup buruk yang mereka jalani sebelumnya.
Pada masa itu, diperkirakan terjadi transisi epidemiologi. Penyakit infeksi akan semakin bisa dikendalikan dan penyakit degeneratif akibat penurunan fungsi tubuh, seperti demensia dan osteoporosis, serta penyakit tidak menular akibat gaya hidup, seperti jantung, stroke, diabetes melitus, dan kanker akan terus meningkat.
Sejumlah provinsi akan mengalami lonjakan lansia sangat besar sehingga 1 dari 4 penduduk adalah lansia berumur lebih dari 60 tahun, seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Perawatan lansia akan menjadi masalah mengingat jaminan sosial yang dimiliki lansia masih terbatas dan jumlah anak yang dimiliki keluarga makin terbatas.
Jika mereka tidak memiliki jaminan hari tua atau tabungan yang memadai, perawatan lansia akan membebani masyarakat dan negara. ”Ini penting diingatkan bahwa pada 2045 tidak semuanya emas, tidak semuanya indah,” ingat Turro.
Berbagai situasi itu, lanjut Sudibyo, terjadi saat bonus demografi sudah selesai. Namun, bonus demografi bisa diperpanjang jika tingkat fertilitas meningkat seperti yang terjadi pada dekade 2000-2010. Namun, peningkatan fertilitas itu juga memiliki risiko yang besar ditengah masih tingginya tingkat kematian ibu dan anak serta belum meratanya layanan pendidikan, kesehatan, dan ketimpangan ekonomi antardaerah.
”Karena itu, periode Kepresidenan 2024-2029 akan menjadi kunci penting bagi pembangunan kependudukan,” tegas Sudibyo. Di masa akhir bonus demografi ini, meski puncak bonus demografi sudah berakhir, investasi manusia masih bisa dilakukan demi menyambut Indonesia Emas 2045.
Investasi manusia
Pada 2045, kelompok penduduk usia produktif adalah mereka yang lahir pada 1980 hingga 2030. Bagi mereka perlu dipastikan untuk memiliki pekerjaan dengan pendapatan memadai dan perlindungan sosial yang cukup, baik jaminan kesehatan maupun jaminan ketenagakerjaan.
Pekerja perlu memiliki jaminan hari tua, dana pensiun, jaminan kecelakaan kerja, hingga jaminan kehilangan pekerjaan sehingga bisa menjalani hari tua dengan lebih baik.
Periode Kepresidenan 2024-2029 akan menjadi kunci penting bagi pembangunan kependudukan.
Kesejahteraan pekerja juga perlu menjadi perhatian. Seiring makin banyaknya pekerja perempuan, perusahaan perlu menyediakan fasilitas yang membuat pekerja perempuan bisa bekerja optimal tanpa kehilangan peran utamanya sebagai ibu keluarga. Karena itu, setiap kantor atau perusahaan perlu memiliki tempat menyusui, tempat penitipan anak, tempat ibadah, hingga tempat rekreasi.
Murid SD bersiap menanam bibit tanaman obat dalam acara Festival Sewu Bakul Jamu di kompleks Candi Banyunibo, Desa Bokoharjo, Prambanan, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (19/12/2023).
Penduduk produktif juga perlu memiliki keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Karena itu, lanjut Turro, Kartu Prakerja yang ada saat ini perlu diteruskan dan dikembalikan ke fungsi asalnya untuk memperbarui dan meningkatkan kompetensi pekerja hingga mereka bisa lebih adapatif dalam pasar kerja yang terus berubah.
Namun, berbagai investasi itu lebih menyasar kelompok pekerja formal yang jumlahnya lebih sedikit. Untuk pekerja informal yang menjadi mayoritas pekerja Indonesia, fasilitasi usaha mikro kecil dan menengah serta peningkatan keterampilan pekerja perlu dilakukan sehingga mereka bisa naik kelas menjadi pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Baca Juga: Pilpres 2024 dan Bonus Demografi
Sementara mereka yang lahir sebelum tahun 1980 sudah akan menjadi lansia atau penduduk tidak produktif pada 2045. Untuk mereka harus dipastikan agar bisa hidup menua dengan bermartabat dan sebisa mungkin tetap mandiri dan produktif meski untuk membentuk kondisi itu perlu dipersiapkan sejak mereka masih di usia produktif.
Lonjakan jumlah lansia di masa ini, apalagi jika masih produktif, bisa menjadi bonus demografi kedua yang bisa memperpanjang manfaat yang diperoleh Indonesia dari bonus demografi.
Untuk kelompok anak-anak berusia di bawah 15 tahun, stunting atau tengkes sepertinya bukan jadi masalah besar lagi saat Presiden dan Wapres hasil Pemilu 2024 bertugas. Saat itu, prevalensi tengkes diperkirakan di bawah batas yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20 persen. Prevalensi tengkes pada 2022 mencapai 21,6 persen dan ditarget jadi 14 persen pada 2024.
Investasi untuk anak perlu ditekankan dalam proses pendidikan yang tidak hanya membekali dengan kemampuan kognitif, tetapi juga berbagai keterampilan hidup dan pendidikan karakter. Untuk mewujudkan hal itu, peningkatkan kualitas pendidikan dan kesejahteraan guru menjadi keharusan. Selain itu, pendidikan oleh orangtua di rumah juga sangat menentukan.
Namun, kemampuan siswa menalar masih menjadi masalah. Nilai PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 Indonesia yang menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains amat rendah dibandingkan rata-rata anak seusia mereka dari negara-negara lain.
Hal ini jadi pekerjaan rumah besar pendidikan Indonesia agar anak Indonesia bisa bersaing di kancah global, bukan sekadar jago menghafal.
Untuk anak yang belum lahir, investasi perlu difokuskan dalam menyiapkan calon-calon ibu agar mereka siap hamil dengan kecukupan gizi yang baik jauh sejak sebelum konsepsi terjadi. Kemiskinan memang menjadi salah satu pemicu tengkes, namun penyebab utama tengkes adalah ketidaktahuan dan ketidaksiapan seseorang untuk menjadi ibu.
Karena itu, setiap remaja putri harus dipastikan tidak mengalami anemia dan benar-benar siap dan terencana saat akan menjaid ibu. Program 1.000 hari pertama kehidupan dari pembentukan janin sampai bayi berumur 2 tahun harus dilanjutkan karena sangat menentukan kesehatan dan produktivitas manusia hingag mereka dewasa dan menua.
Setelah lahir, juga harus dipastikan bahwa keluarga mereka mampu memenuhi kebutuhan gizi anak dan mendampingi tumbuh kembang anak dengan baik. Karena itu, membangun kesiapan anak muda untuk menikah dan pembangunan keluarga menjadi hal penting ditengah tingginya tingkat perceraian perkawainan yang berumur kurang dari lima tahun selama satu dekade terakhir.
Risiko
Jika Indonesia gagal mengelola dan memanfaatkan bonus demografi, risikonya menjadi sangat besar. Bukan hanya Indonesia bisa masuk ke dalam jebakan negara dengan ekonomi menengah yang membuatnya sulit menjadi negara maju dan kaya, tetapi juga bisa meningkatkan instabilitas politik dan ketahanan negara.
Pembangunan berhasil memperbesar jumlah kelompok menengah. Mereka terdidik, memiliki kondisi ekonomi lebih baik, punya aspirasi tinggi, terhubung dengan internet dan media sosial, serta gemar protes. Mereka suka melihat negara maju tapi tak sabar dengan proses yang berlangsung di negara mereka sehingga meski pemerintah melakukan hal baik, itu belum cukup dalam pandangan mereka.
Repotnya, aspirasi mereka mudah teramplifikasi dan tersebar ke kelompok populasi lain hingga meningkatkan potensi munculnya ketidakpuasan masyarakat, pembangkangan, hingga fundamentalisme dan radikalisme.
Kasus Arab Spring yang mengguncang sejumlah negara Arab tahun 2010-2011 dan memicu pergantian pemimpin politik di sana juga terjadi saat negara-negara tersebut sedang mengalami bonus demografi.
Karena itu, aspirasi kelompok menengah perlu diwadahi. Kebebasan berpendapatan harus dihargai, tetapi dengan tetap memperhatikan norma dan rambu yang ada. Setiap kebebasan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. “Pemerintah perlu membuat rambu agar kebebasan berpendapat itu tak dilihat sebagai hal membahayakan pemerintah atau posisi pemimpin,” kata Turro.
Pemerintah pun perlu memastikan ekonomi tumbuh agar pendapatan warga naik. Hilirisasi yang dilakukan Presiden Joko Widodo seharusnya dijalankan dan menyentuh sektor lain untuk menciptakan peluang ekonomi, tak hanya mengikuti selera pasar bersifat jangka pendek. Banyak proyek strategis yang baru menimbulkan dampak jangka panjang, tapi harus ada pemimpin berani memulainya.
Sudibyo menambahkan jika penduduk gagal dikelola pada 2024-2029, saat puncak bonus demografi mulai berakhir, maka peluang bagi Indonesia untuk bisa memanfaatkan bonus demografi akan semakin kecil. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak akan banyak mengungkit kesejahteraan masyarakat sehingga jebakan negara berpendapatan menengah pun ada di depan mata.
Karena itu, siapa pun capres-cawapres terpilih nantinya, potensi bonus demografi tersisa dalam waktu sempit ini harus dikelola sebaik-baiknya. Di tangan mereka, nasib Indonesia 2045 akan dipertaruhkan. Jika gagal, negara dibayang-bayangi bencana demografi yang bisa memicu instabilitas politik dan negara. Jadi, meski pembangunan ekonomi penting, jangan melupakan pembangunan manusia.