logo Kompas.id
HumanioraBerladang, Identitas Dayak...
Iklan

Berladang, Identitas Dayak yang Kini Terlarang

Berladang tidak hanya untuk mencukupi pangan, tetapi juga identitas budaya Dayak. Pesta panen menjadi penanda tahun baru Dayak sehingga tanpa berladang tidak ada lagi tahun baru.

Oleh
AHMAD ARIF, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
· 1 menit baca
Ambun Suteng (43), warga Desa Kalumpang, Kecamapatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mengumpulkan sayur kelakai (pakis merah) yang tumbuh lebat di ladangnya. Semak belukar telah tumbuh lebat sejak pelarangan berladang pada 2015.
KOMPAS/AHMAD ARIF

Ambun Suteng (43), warga Desa Kalumpang, Kecamapatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, mengumpulkan sayur kelakai (pakis merah) yang tumbuh lebat di ladangnya. Semak belukar telah tumbuh lebat sejak pelarangan berladang pada 2015.

Malan dalam bahasa Dayak Ngaju berarti ’berladang’. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, berladang juga menjadi pusat kehidupan dan kebudayaan Dayak. Jika tradisi ini berakhir, hilang pula identitas budaya mereka.

Peran penting malan bagi kehidupan masyarakat Dayak dikemukakan Sanyo (52) mantir adat atau pemuka adat di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. ”Orang Dayak yang tidak berladang sudah hilang jati dirinya karena hampir semua ritual kami terkait dengan perladangan,” katanya di rumahnya di tepi Sungai Kapuas, Minggu (17/7/2022).

Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan