”Dirty Vote” dan ”Eksil” Menggedor Kesadaran
”Eksil” dan ”Dirty Vote” merupakan film dokumenter yang menggedor kesadaran sejarah dan politik. Apakah berpengaruh?
Memasuki Februari 2024, segala keriuhan yang berkaitan dengan pemilihan umum makin bergelora meski kadang membuat sakit kepala. Di tengah hiruk-pikuk ini, kemunculan dua karya film dokumenter, yaitu Eksil dan Dirty Vote, ibarat oase.
Eksil besutan sutradara Lola Amaria sebenarnya sudah dinanti-nanti publik sejak tayang perdananya di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2022. Namun, kesempatan untuk menyapa publik lebih luas baru hadir pada 1 Februari 2024 meski tetap di bioskop terbatas.
Sementara itu, Dirty Vote yang dikerjakan Dandhy Laksono baru rilis pada 11 Februari 2024 melalui saluran Youtube. Film berdurasi 117 menit (1 jam 57 menit) ini menemui pemirsanya melalui cara berbagi tautan karena tak serta-merta gampang dicari. Lepas tengah hari, film tersebut diamplifikasi akun-akun media sosial lain karena akun utamanya sempat sukar ditemukan.
Baca juga: Tidak Tenang di Masa Tenang
Kendati demikian, kedua film dokumenter ini mencuri perhatian dan menambah bahan diskusi menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden. Bahkan, tak tanggung-tanggung, dua film dokumenter ini dijadikan perenungan untuk memilih calon yang tepat.
”Campur aduk perasaan pas nonton dua-duanya. Tapi, gue yang tadinya golput, jadi mikir gue kudu milih ini. Dari pada suara gue ilang gitu aja, kan. Eksil itu, kan, dosa negara, Dirty Vote ini juga, tapi dalam konteks kecurangan pemilu,” ujar Thomas Putra (38) ketika dihubungi pada Selasa (13/2/2024).
Campur aduk perasaan pas nonton dua-duanya. Tapi, gue yang tadinya golput, jadi mikir gue kudu milih ini. Dari pada suara gue ilang gitu aja, kan.
Asyifa Adzkia (20) yang merupakan pemilih pemula dan masih bingung merasa terbantu setelah menonton dua dokumenter ini. ”Aku makin yakin enggak salah pilih. Awalnya, aku bener-bener blank soal Eksil ini. Katanya soal PKI. Tahunya, kan, yang pemberontakan itu. Ternyata ada sisi lain yang ngebuka pikiran dan aku jadi cari-cari sumber bacaan yang pas juga,” ungkap Syifa.
Untuk Dirty Vote, ia mengaku membutuhkan waktu mencerna perlahan sembari melacak berbagai pemberitaan. ”Efeknya aku jadi ngegali info bareng teman-teman juga. Tadinya bener juga sih cuma mantengin medsos doang, TikTok gitu. Untung bela-belain nonton walau sempat hampir ketiduran,” ucap Syifa.
Seperti diketahui, Eksil memang berkisah tentang dampak dari peristiwa Gerakan 30 September 1965. Para mahasiswa Indonesia yang disekolahkan di luar negeri mendadak dicabut kewarganegaraannya dan tak bisa pulang ke Tanah Air. Tudingan keterlibatan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan alasan pemerintahan Orde Baru untuk menghalangi kembalinya mereka ke kampung halaman.
Hingga tua dan menutup mata, opa dan oma, korban politik ini, tak bisa lagi pulang ke Tanah Air. Belakangan, mereka yang bisa sejenak menghirup udara Tanah Air adalah yang mengambil jalan menjadi warga negara dari tempat domisilinya. ”Ini cuma kertas aja. Dokumen saja. Hati saya tetap Indonesia,” ujar salah satu eksil yang muncul di film dan tinggal di Swedia, Tom Iljas.
Baca juga: Eksil: Mereka yang Dipaksa Terasing
Sementara itu, Dirty Vote yang menghadirkan tiga ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, merangkum perjalanan kecurangan pemilu yang disusun sejak jauh-jauh hari. Dari pemekaran Papua, penunjukan penjabat kepala daerah, pemilihan para penyelenggara pemilu yang penuh cawe-cawe partai politik, banjir bantuan sosial dadakan, pelanggaran etik Ketua Komisi Pemilihan Umum, sampai intrik di Mahkamah Konstitusi.
Keterlibatan para menteri yang entah cuti atau tidak dalam mengampanyekan capres-cawapres dari tiga pasangan calon presiden-wakil presiden juga turut disorot. Menariknya, sebelum film ini tayang, ada satu tim kemenangan pasangan calon yang langsung mengirimkan undangan konferensi pers terkait film tersebut pada 11 Februari pagi.
Sampai saat ini, dua film ini masih dibicarakan, baik di ruang publik maupun dunia maya. Ada yang menganggapnya fitnah, ada yang menghadapi dengan tenang.
Baca juga: Antisipasi Kecurangan Penyelenggara Perlu Transparansi Data
Berdampak
Dari Laporan HotDocs bertajuk Documentary Impact: Social Change Through Storytelling, disebutkan film dokumenter bertujuan untuk membangkitkan empati dan memantik sudut pandang baru, lalu melahirkan kekuatan untuk membawa perubahan pada lingkungan sosial budaya. Namun, persoalannya, jalan menuju ke sana kadang penuh rintangan.
Dokumenter berbeda dengan fiksi. Sejatinya, tak boleh ada bumbu di luar fakta yang ada sehingga semua yang dipaparkan dalam film memang realitas yang bisa dibuktikan. Tantangan dalam film dokumenter adalah pengemasannya. Eksil, misalnya, cukup berhasil membangkitkan empati dan memberi perspektif baru bagi sejumlah generasi.
Meski kontennya berupa wawancara para eksil, Lola mengemasnya dengan hangat menggunakan bahasa verbal yang mudah diterima. Keunggulan ini membuat penonton betah dan mampu bertahan sampai film selesai.
Berbeda dengan Dirty Vote. Meski topiknya relevan, pengemasannya perlu jadi catatan untuk produksinya kelak. Sasaran tembaknya pun menjadi terbatas mengingat bahasa yang digunakan di sebagian penjelasan sangat teknis. Walakin, pesannya tetap bisa diterima bagi para swing voter yang masih bimbang menentukan pilihan.
Efeknya aku jadi ngegali info bareng teman-teman juga. Tadinya benerjuga sih cuma mantenginmedsos doang.
Bagi yang sudah menentukan pilihan, memang sulit untuk memberitahu mereka apa pun caranya. Karena itu, film dokumenter yang harus berbasis fakta dan data dengan enteng disebut fitnah dan apesnya tiga ahli hukum tata negara yang muncul sebagai penyampai pesan justru diserang personalnya dan dicari-cari kesalahannya di dunia maya.
Namun, seberapa berpengaruhkah dua film dokumenter ini? Dan seberapa berhasilkah? Lagi, jika mengacu pada Laporan HotDocs yang spesifik membahas mengenai dampak film dokumenter, kedua film ini terbilang berpengaruh dan cukup berhasil. Terkait hasil apa pun yang dibawanya, perhatian yang tersedot hingga kemudian dibicarakan terus-menerus di berbagai ruang bisa diukur sebagai dampak yang baik dan film tersebut membawa pengaruh.