Menerjemahkan Karakter dan Karya Ismail Marzuki
Sebagai sebuah proyek seni hibrida, Payung Fantasi telah mencoba memadukan narasi cerita, yang terkadang dinyanyikan, dengan elemen teater yang lain, seperti koreografi, akting, tata busana, dan tata rias.
Barangkali tidak adil jika membandingkan antara serial musikal Payung Fantasi (2022) dengan film musikal sekelas Les Miserables (2012) atau La La Land (2016) yang diproduksi Hollywood. Meski berupaya mengadaptasi kisah hidup dan karya-karya komponis besar Ismail Marzuki dan dibimbing sineas sekelas Garin Nugroho, musikal ini sebagian besar dikerjakan oleh orang-orang muda, yang bisa jadi masih minim pengalaman di dunia seni pertunjukan.
Perbandingan itu tak sepenuhnya juga bisa diterima mengingat Payung Fantasi berangkat dari keinginan teater panggung yang kemudian diberi sentuhan musikal dan film. Jadi, konsepnya hibrida, perpaduan antara studio (panggung), nyanyian, tarian, dan film. Artinya, seluruh pemain seolah sedang bermain di atas panggung teater dan tidak dilakukan cut to cut pada saat pengambilan gambar, sebagaimana biasanya dilakukan dalam shooting film. Oleh sebab itulah, karya ini melibatkan dua sutradara sekaligus, yakni sutradara teater (panggung) Pasha Prakarsa dan sutradara film Naya Anindita.