logo Kompas.id
β€Ί
Hiburanβ€ΊSeratus Hari Kesunyian
Iklan

Seratus Hari Kesunyian

Di tengah Pandemi Covid-19, seniman tradisi dituntut terus mencari jalan untuk tetap dapat bertahan. Mereka butuh dukungan untuk dapat mengadopsi teknologi. Juga agar bisa turut mendapat ruang di arus utama.

Oleh
DWI BAYU RADIUS
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/zRHcaa_ZH9gGANxkPG9y3LlKjPc=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20200619bayB_Lipsus-Pandemi-Musik_1593183223.jpg
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS

Musisi gambus Syamsul Bahri berlatih di rumahnya di Kelurahan Ciganjur, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Kekayaan seni dan budaya Nusantara tersusun di tangan para penggiatnya, baik mereka yang berkiprah di arus utama ataupun yang jauh dari sorotan lampu kamera. Di tengah pandemi, ruang virtual menjadi harapan baru sekaligus tantangan bagi seniman.

Seniman-seniman akar rumput terenyak tatkala wabah Covid-19 ini menggulung. Pagebluk telah menggedor nalar mereka untuk menyadari pentingnya teknologi.

Editor:
nurhidayati
Bagikan