logo Kompas.id
β€Ί
Gaya Hidupβ€ΊMetamorfosa Rosa
Iklan

Metamorfosa Rosa

Malamnya, atau lebih tepatnya tengah malam, Abdul mendatangi kamar Rosa. Dilihatnya lampu kamar Rosa masih menyala. Hal itu sempat membuat Abdul gentar. Namun, nafsunya jauh lebih besar.

Oleh
Aliurridha
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/EEmWIbAaOZ7pZqWRaeO7-04Bouc=/1024x1477/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2FIMG_20211028_162256_1635583141.jpg

”Hoek,” bunyi mulutnya ketika mengumpulkan lendir yang lengket di tenggorokan. Setiap selesai mengumpulkannya, Rosa akan meludah ke lantai. Hal itu ia ulangi sepanjang enam sampai tujuh langkah kaki. Sedari tadi ia bolak-balik dengan gelisah di lorong rumah. Begitu melihat adik iparnya sedang menyuapi anaknya di pintu dapur, Rosa melangkah mendekat ke arah mereka, dan tanpa tedeng aling-aling, ia meludahi piring nasi yang sedang dipegang iparnya. Buih berwarna kuning bercampur hijau terlihat di antara warna putih. Ipar Rosa menjerit, badannya gemetar menahan amarah. Rosa kemudian berlalu tanpa rasa bersalah, seolah yang baru dia lakukan sekadar meludah ke tanah.

Adik Rosa, Rahmat, pulang mendapat cerita tidak mengenakkan dari istrinya. Dadanya panas seperti kawah gunung merapi yang hendak erupsi. Bergegas ia berlari menuju kamar Rosa. Ditendangnya pintu kamar itu sekeras ia mampu. Suara benturan di pintu mengagetkan Rosa. Tendangan kedua kembali dilayangkan Rahmat, tetapi suaranya tidak sekeras yang pertama. Meski begitu, cukup untuk membuat Rosa membuka kunci dan pintu kamarnya. ”Asu,” umpatnya pada Rahmat. Yang diumpat balas menampar. Kemudian melayangkan tendangan ke perut Rosa, membuat yang ditendang terjengkal tiga langkah ke belakang.

Editor:
Mohammad Hilmi Faiq
Bagikan