Sepasang pengguna sepeda berhenti sejenak untuk membetulkan posisi jas hujan dari plastik tipis yang mereka gunakan untuk melindungi badan dari hujan yang turun sejak pagi di Kampung Gamelan, Kelurahan Panembahan, Kraton, Yogyakarta, Kamis (18/1/2024) sore. Sekitar 2 meter dari tempat mereka berhenti terdapat sebuah spanduk berwarna oranye dengan panjang sekitar 1,5 meter yang diikatkan pada tiang penanda Kampung Gamelan. Spanduk itu berisi penolakan warga terhadap pemasangan atribut partai politik di permukiman mereka.
Spanduk sejenis dipasang di sedikitnya tiga lokasi di kampung itu. Pemasangan dilakukan di sudut-sudut jalan untuk memastikan visibilitasnya baik.
Kampung Gamelan pada masa lampau merupakan tempat tinggal para abdi dalem Keraton Yogyakarta yang bertugas sebagai perawat kuda atau biasa disebut gamel. Kampung para pekerja gamel itu hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari Keraton Yogyakarta dan berada di dalam lingkup benteng Keraton Yogyakarta, atau lazim dikenal dengan sebutan Njeron Beteng.
Fenomena penolakan warga Kampung Gamelan terhadap bermacam atribut kampanye bak oase di tengah jenuhnya masyarakat terhadap atribut kampanye yang kian menjejali ruang di tepi jalan dan sering kali dipasang dengan sembarangan. Dosen Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sekaligus inisiator gerakan Reresik Sampah Visual, Sumbo Tinarbuko, saat masa kampanye Pemilu 2019 lalu bahkan menyebut alat peraga kampanye (APK) beralih fungsi menjadi teroris visual yang rajin menyebar sampah visual iklan politik pada ruang publik.
Menurut Mukhlis, Ketua RT 050 RW 013 Kelurahan Panembahan, penolakan warga terhadap APK dilakukan karena pemasangan atribut kampanye sering dilakukan secara sembarangan sehingga justru menimbulkan masalah. Warga yang jengkel terhadap pemasangan APK, lanjut Mukhlis, dikhawatirkan akan mencabut sendiri alat peraga kampanye yang dinilai mengganggu, padahal hal itu melanggar aturan.
Penolakan warga terhadap keberadaan APK berbuah manis. Pemandangan kampung itu pun menjadi alami seperti hari-hari biasa ketika masa kampanye belum berlangsung.
Menurut Retta, salah seorang warga, kesepakatan Kampung Gamelan dalam menolak alat peraga kampanye turut berimbas pada sejumlah kampung di sekitarnya. Meski tidak semua kampung di lingkup Njeron Beteng memiliki paradigma yang sama dengan Kampung Gamelan, setidaknya sikap menolak kehadiran atribut kampanye tersebut menjadi salah satu simbol keberanian menolak penjajahan visual dari para pegiat partai politik yang sering kali semena-mena dalam upaya mereka menggalang perolehan suara.