Presiden BJ Habibie berkonsultasi dengan DPR/MPR pada 25 November 1998 dan bersepakat untuk mempercepat jadwal pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2002. Proses ini berlangsung setelah Presiden Soeharto menyatakan mundur dari jabatannya pada 21 Mei 1998 menyusul peristiwa kerusuhan di sejumlah kota di Indonesia dan gelombang demonstrasi akibat tekanan krisis ekonomi dan gerakan menuntut reformasi pemerintahan.
Percepatan pemilu ini dilakukan agar Indonesia segera beranjak dari krisis ekonomi dan sosial yang sangat parah, selain karena desakan politik. Kerusuhan yang melanda secara beruntun di sejumlah daerah pada periode tersebut menyebabkan masyarakat khawatir hal itu akan terjadi lagi. Meskipun demikian, rasa khawatir itu tidak mengurangi harapan masyarakat bahwa Pemilu 1999 merupakan satu-satunya jalan untuk memperbaiki keadaan negara saat itu yang sedang dilanda krisis di segala bidang. Pemilu menjadi jembatan penyelamatan negara dari keterpurukan bangsa.
Arsip foto Kompas merekam rangkaian pelaksanaan Pemilu 1999 yang merupakan sebuah terobosan untuk menampung aspirasi masyarakat dalam berdemokrasi setelah 32 tahun dikekang oleh rezim Orde Baru. Pada saat itu juga bermunculan partai-partai politik baru dari berbagai kelompok hingga mencapai 48 parpol. Asas pemilu sebelumnya, yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia, ditambah asas demokratis, jujur, dan adil.
Pemilu tersebut diselenggarakan secara serentak pada tangga 7 Juni 1999 untuk memilih 462 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, dan DPRD kabupaten/kota se-Indonesia untuk periode 1999-2004.
Baca juga : Fenomena Mega Bintang
Sistem pemilu yang digunakan masih sama, yaitu sistem proporsional. Hanya, penetapan calon terpilih dalam pemilu kali ini berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan ranking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Adapun untuk presiden dan wakil presiden masih sama dengan pemilu-pemilu sebelumnya, yaitu dipilih di MPR.
Mengatur surat suara dengan 48 partai politik peserta pemilu ternyata tidak mudah. Ketika pemilu hanya diikuti tiga partai, surat suara hanya perlu setengah halaman kertas folio dengan gambar hitam putih. Dengan 48 partai, surat suara akan berupa selembar kertas berukuran 28 sentimeter x 44 sentimeter atau sama dengan satu halaman tabloid.
Persoalan surat suara mulai terlihat alot ketika terjadi perdebatan panjang hanya menyangkut apakah surat suara dicetak berwarna atau tidak. Beberapa partai keberatan karena lambang partai mereka yang hampir sama dan nyaris tidak dapat dibedakan jika dicetak hitam putih.
Lambang partai yang mirip itu, misalnya, dimiliki Partai Politik Islam Masyumi dan Partai Bulan Bintang. Apalagi, nomor urut kedua partai ini pun berdekatan, 21 dan 22. Belum lagi tanda gambar milik Partai Masyumi Baru yang juga berlambang bulan sabit dan bintang. Contoh lain adalah Partai Syarikat Islam Indonesia dengan Partai Syarikat Islam Indonesia 1905 yang hanya dapat dibedakan dari dekat dengan adanya tulisan 1905.
Partai-partai yang berakar nasionalis pun beramai-ramai mengambil gambar banteng sebagai tanda gambarnya. Sampai-sampai muncul lelucon yang mengatakan bahwa populasi banteng di Ujungkulon merosot drastis karena dipakai sebagai tanda gambar partai-partai. Tanda gambar partai-partai itu sulit dibedakan. Untung persoalan tanda gambar PDI Perjuangan pimpinan Megawati dan PDI pimpinan Budi Harjono terpecahkan setelah PDI Perjuangan mengganti lambangnya menjadi banteng dalam lingkaran.
KPU akhirnya memutuskan mencetak surat suara berwarna. Risikonya, harga jadi berlipat ganda. Anggaran Rp 100 per lembar menjadi sekitar Rp 350 per lembar. Padahal, surat suara yang akan dicetak berjumlah 400 juta lembar.
Surat suara tersebut masih harus dilipat dan biaya melipat secara manual sekitar Rp 8 per lembar. Total biaya pelipatannya Rp 3,9 miliar. Urusan lipat-melipat surat suara ini diserahkan kepada PPD II di setiap dati II.
Persiapan lain yang tidak kalah rumit adalah kotak suara. Pada awal pembahasan, KPU dihadapkan pada dua pilihan, menggunakan kotak suara plastik yang transparan atau kotak suara tripleks seperti pada pemilu sebelumnya. Sebuah perusahaan Jerman memberikan contoh kotak suara plastik sehingga surat suara dapat dilihat dengan jelas. Keputusan rapat pleno KPU akhirnya sepakat untuk membuat kotak suara dari tripleks berukuran 40 cm x 60 cm x 80 cm. Alasan yang diajukan KPU adalah memberdayakan industri-industri di daerah.
Tiga lembaga yang melakukan pemantauan terhadap tahapan kampanye pemilu 19 Mei hingga 4 Juni, yaitu Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Unfrel (University Network for Free and Fair Election), dan Lembaga Rekonsiliasi dan Perdamaian Indonesia (Lerai) YLBHI, menilai pelaksanaan kampanye Pemilu 1999 lebih baik ketimbang kampanye Pemilu 1997.
Hal itu terlihat dari tingkat partisipasi masyarakat yang meningkat dan jumlah korban yang semakin sedikit. Meskipun demikian, diingatkan adanya sejumlah persoalan teknis yang harus diselesaikan segera agar tidak berkembang menjadi masalah serius pada hari-H pemilu nanti.
Evaluasi umum ketiga lembaga tersebut disampaikan Sekjen KIPP Mulyana W Kusumah, Koordinator Nasional Lerai Tamrin Amal Tomagola, dan Muchlis Ramadhani dari Divisi Pengaduan atau Advokasi Sekretariat Nasional Unfrel, Sabtu (5/6/1999), di Jakarta.
Sekjen KIPP Mulyana W Kusumah mengungkapkan, menurut pemantauan KIPP, selama pelaksanaan kampanye pemilu, 19 Mei-4 Juni, pelanggaran-pelanggaran berbentuk penghinaan seseorang berdasarkan SARA dan keyakinan politiknya terlihat menonjol, yaitu sebanyak 85 pelanggaran, di bawah pelanggaran melakukan perusakan atau menghilangkan alat peraga kampanye parpol lain (103). Pelanggaran menggunakan fasilitas pemerintah dan sarana ibadah juga terbilang tinggi, yaitu 71 pelanggaran.
Menurut pemantauan Unfrel, selama masa kampanye tercatat tak kurang dari 700 pelanggaran dilakukan. Yang terbesar adalah pelanggaran peraturan perundang-undangan selain UU Pemilu, misalnya UU Lalu Lintas dan UU Hak Asasi Manusia. Dari sisi korban, Unfrel mencatat 24 korban tewas selama masa kampanye pemilu.
Menjelang hari pencoblosan, KIPP mengadakan simulasi untuk menunjang pelaksanaan Pemilu 1999. Simulasi dilakukan dengan penusukan tanda gambar di dalam bilik tertutup dan juga proses memasukkan kartu pilihan ke dalam kotak suara.
Baca juga : Pencarian Bakat Pesepak Bola Putri Usia Dini
Pelaksanaan Pemilu 1999 juga menarik perhatian dunia luar. Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter sempat menjadi pusat perhatian dalam kunjungannya ke daerah Rempoa, Jakarta Selatan.
Tujuan keberadaan Carter Center di Indonesia, antara lain, adalah untuk memperkuat komitmen Indonesia terhadap demokrasi, termasuk kebebasan memilih di bilik suara. Delegasi Carter Center yang terdiri atas 100 orang dari 23 negara berada di Indonesia untuk mengamati proses pendaftaran, persiapan pemantau lokal, masa kampanye, serta persiapan pemilu lainnya.
Meskipun masa persiapan tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara Pemilu 1999 bisa dilakukan seusai jadwal, yakni tanggal 7 Juni 1999. Antusiasme masyarakat dalam mengikuti pemungutan suara di wilayah DKI Jakarta dan wilayah lain di Indonesia sungguh luar biasa.
Sejak pukul 06.30, warga masyarakat sudah antre hingga puluhan meter di luar pagar tempat pemungutan suara (TPS), meski secara resmi pencoblosan baru dimulai pukul 08.00. Membeludaknya warga masyarakat yang ingin mencoblos membuat seorang pemilih harus menunggu satu sampai 1,5 jam.
Selain suasana pelaksanaan di beberapa lokasi, sejumlah tokoh yang mencoblos juga menjadi incaran jurnalis dalam dan luar negeri untuk diabadikan, terutama tokoh yang memiliki potensi menjadi kandidat presiden, seperti Megawati dan Gus Dur.
Megawati Soekarnoputri melakukan pencoblosan di TPS 18 Kelurahan Kebagusan, didampingi suaminya, Taufiq Kiemas, dan Kartika Soekarno. Dengan senyum simpul, Megawati melayani permintaan wartawan untuk difoto. Ratusan wartawan dalam dan luar negeri yang terus merubunginya, mencoba meminta komentar soal peluang PDI Perjuangan meraih kemenangan. ”Silakan Anda melihat hasilnya nanti,” kata Megawati dalam bahasa Inggris. Namun, ketika terus didesak, dengan suara tinggi ia meminta para wartawan meninggalkan halaman rumahnya.
Di TPS itu, PDI Perjuangan menang dengan 450 suara, disusul PPP (174) dan PAN (107). Deklarator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mencoblos di TPS 21 Kelurahan Ciganjur. Ia datang bersama istri dan dua anaknya. Ketika ditanya wartawan, ia berkomentar bahwa pelaksanaan pemilu kali ini baik meskipun ada beberapa masalah keamanan, seperti yang ditemui di Aceh. Gus Dur juga yakin bahwa PKB akan menang dalam pemilu tersebut. Meski demikian, di TPS ini, PKB harus puas di urutan kedua (187), sementara tempat pertama direbut PDI Perjuangan (221). Adapun Golkar meraih 35 suara.
Secara umum pelaksanaan pemungutan suara yang dimulai pukul 08.00 dan berakhir secara resmi pukul 14.00 itu berjalan lancar, termasuk di Irian Jaya, Timor Timur (Timtim), dan DI Aceh. Namun, di sejumlah daerah terjadi peristiwa yang mengganggu jalannya pemilihan umum.
Akhirnya, Pemilu 1999 sebagai sebuah eksperimen besar demokrasi berhasil dilaksanakan bangsa dan rakyat Indonesia dengan relatif aman dan tertib walaupun di sana sini masih ada gugatan bahwa belum seluruh prosesnya berlangsung secara demokratis. Kelangsungan pemilu secara aman dan tertib itu mementahkan analisis dan prediksi dari para pakar dan pengamat bahwa pemilu akan disertai kerusuhan, bahkan pertumpahan darah.
Hasil final pemilu baru diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999. Hanya 21 partai yang mendapatkan kursi di DPR dari 48 partai peserta pemilu 1999. PDI-P keluar sebagai pemenang mayoritas suara, disusul Partai Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional di posisi lima besar.
Dugaan mengenai kemenangan PDI-P itu sudah muncul lama, dengan memperhatikan simbol-simbol popularitas Megawati yang, selain mewarisi nama besar ayahandanya, juga sebagai simbol tokoh yang tahan menderita dalam tekanan kejam rezim Orde Baru.
Kemudian dari hasil Sidang Umum MPR, Abdurrahman Wahid dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dilantik menjadi presiden dan wakil presiden yang terpilih. Pasangan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputri kemudian digantikan oleh pasangan Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz melalui Sidang Istimewa MPR, 23 Juli 2001.