Sekitar sepuluh tahun setelah Republik Indonesia diproklamasikan, bangsa Indonesia menggelar pemilihan umum perdana pada 29 September 1955. Pemilu 1955 sendiri dilakukan dalam dua tahap, yakni memilih anggota DPR yang digelar pada 29 September 1955 dan memilih anggota Konstituante yang digelar pada 15 Desember 1955.
Konstituante bertugas membentuk undang-undang. Sebenarnya, pemilu pertama sedianya digelar tahun 1946 untuk memilih anggota legislatif. Namun, pemilihan itu urung digelar karena kendala dari dalam dan luar negeri.
Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan pemerintah menyelenggarakan pemilu. Ketidaksiapan ini karena belum tersedianya perangkat perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat instabilitas politik dan keamanan negara di masa-masa awal mempertahankan kemerdekaan. Penyebab dari luar antara lain serbuan kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.
Kompas yang terbit sejak 1965 mulai meliput pemilu sejak 1971. Foto Pemilu 1955 ada beberapa di dokumentasi Kompas, sebagian besar foto didapat Kompas dari kantor berita IPPHOS.
Dalam buku Naskah Sumber Arsip Jejak Demokrasi Pemilu 1955 (2019) disebutkan, pemilihan anggota DPR tahun 1955 diikuti oleh 36 partai politik, 34 organisasi massa, dan 48 calon perseorangan. Sementara pemilihan anggota Konstituante diikuti oleh 39 partai politik, 23 organisasi massa, dan 29 calon perseorangan.
Antusiasme masyarakat untuk berpartisipasi pada pemilu perdana ini terbilang tinggi. Dari 43.104.464 pemilih terdaftar, 87,66 persen pemilih menggunakan hak pilihnya. Biaya yang dikeluarkan pada Pemilu 1955 mencapai Rp 479.891.729. Menurut catatan, tingkat pendidikan politik Pemilu 1955 terbilang sangat besar.
Baca juga: Aneka Polah Simpatisan Partai Politik
Salah satu hal yang menjadi catatan dalam foto Pemilu 1955 adalah budaya antre di tempat pemungutan suara (TPS). Masyarakat yang memiliki animo tinggi dalam memilih tetap antre yang tertib. Hal ini terlihat pada salah satu foto saat Pemilu 1955 di Jakarta Raya. Budaya antre sekilas terlihat suatu hal yang sepele, tetapi sebenarnya menunjukkan tingkat peradaban bangsa Indonesia setingkat dengan bangsa maju meski kemerdekaannya baru berusia sepuluh tahun.
Presiden Soekarno rela mengantre bersama warga masyarakat biasa di TPS Kementerian Penerangan di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 9 Jakarta. Begitu juga dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta yang mengantre saat menyalurkan hak suaranya pada pemilihan anggota Konstituante di gedung olah raga Jakarta.
Dalam keadaan mengantre Wakil Presiden Mohammad Hatta masih menyempatkan diri membaca surat kabar dan bercengkerama dengan tokoh PNI, Ali Sastroamidjojo.
Pemilu 1955 membolehkan anggota tentara dan polisi menggunakan hak pilih. Di antara mereka pun ada yang mendirikan partai politik. Anggota Angkatan Perang RI (APRI) memberikan hak suaranya di TPS yang terdapat di asrama militer atau tempat-tempat yang telah ditentukan. Sebagian dari anggota APRI dapat memilih pada pemilu anggota Konstituante pada 15 Desember 1955, tetapi sebagian lagi dilaksanakan setelahnya.
Pemilu 1955 digelar dalam naungan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 yang disebut ”imajinasi ultra-demokratis”. UU ini memfasilitasi pencalonan bisa melalui partai, organisasi, ”perkumpulan pemilih” dan perseorangan sebagai calon anggota DPR dan Konstituante.
Pemilu 1955 yang dikenal sebagai pemilu pertama yang demokratis memberikan peluang bagi pemilih untuk menggunakan metode menulis dalam memberikan pilihan politiknya. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan DPR yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Pemilu 1955.
Baca juga: Kilas Balik Kampanye Pemilu
Dalam Pasal 67 Ayat 2 UU tersebut disebutkan, pemilih memberikan suara dengan menusuk tanda atau gambar. Hal lainnya juga disebutkan, pemilih memberikan suara kepada seorang calon dengan menulis nomor serta nama calon dalam ruangan (space) yang disediakan dalam surat suara. Untuk memudahkan pemilih menulis nama calon yang dipilihnya, di setiap bilik suara dipasang daftar calon tetap. Setelah Pemilu 1955, metode mencoblos makin dikukuhkan sebagai satu-satunya cara pemberian suara di pemilu, terutama ketika memasuki pemilu era Orde Baru.
Sejumlah argumen mendasari Pemilu 1955 mendapat predikat yang paling demokratis di antara pemilu lain. Argumen pertama adalah Pemilu 1955 dilakukan dengan bebas dan jujur, tanpa paksaan. Sangat bertolak belakang dengan pemilu selanjutnya di masa pemerintahan Orde Baru.
Pemilu 1955 juga bersih dari politik uang atau serangan fajar seperti yang terjadi di masa Orde Baru bahkan sampai setelah reformasi. Pemilu ini juga memperlihatkan spektrum politik Indonesia, dengan diikuti oleh berbagai partai dengan beragam latar belakang ideologi.
Akhirnya, Pemilu 1955 berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar, jujur, dan adil serta sangat demokratis. Penyelenggaraannya bahkan mendapat pujian dari berbagai pihak, termasuk dari negara-negara asing.