logo Kompas.id
EkonomiPanggung Global Sambal ”Capli”...
Iklan

Bebas Akses SOSOK

Panggung Global Sambal ”Capli” Bermula dari Kegelisahan Nasib Petani

Ikhtiar dan niat tulus untuk memberi kepastian bagi para petani membawa langkah Capli menuju panggung internasional.

Oleh
AGUSTINUS YOGA PRIMANTORO
· 8 menit baca
Yuliana-Murtala Hendra Syahputra, pasangan suami istri produsen sambel rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli di rumah produksinya di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Yuliana-Murtala Hendra Syahputra, pasangan suami istri produsen sambel rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli di rumah produksinya di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).

Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Yuliana (35) bisa memperkenalkan Capli, sambal hijau kemasan khas Aceh buatannya, ke kancah global. Semua bermula ketika ia bersama sang suami, Murtala Hendra Syahputra (40), merasa gelisah dengan nasib para petani campli atau cabai rawit.

Aroma cabai semula hanya mengintip dari balik sebuah ruko di kawasan Kecamatan Meuraxa, Kota Banda Aceh, Senin (12/8/2024). Begitu masuk ke dalam, aroma itu semakin kuat menyeringai hingga menembus ke lubang hidung yang telah tertutup selembar masker dan menusuk mata.

Dengan mata berkaca-kaca, Yuliana mulai menceritakan perjalanannya merintis usaha sambalnya. Semula, mereka terbilang cukup mapan berkat adanya klinik kesehatan milik Murtala. Namun, pada satu titik, Yuliana merasa gelisah ketika bergantung dengan orang-orang sakit yang berdatangan demi menyambung hidup.

Sampai akhirnya, pada 2014, keduanya sepakat meninggalkan kemapanannya dan kembali ke kampung halaman Murtala di Aceh untuk memulai hidup baru. Segala rupa usaha dilakoni keduanya, mulai dari beternak bebek dan ayam, berjualan kue basah, berjualan plastik, hingga berjualan bahan pokok. Namun, kegagalan menjadi jawaban terakhir atas jerih payah mereka.

Proses produksi sambal rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli di rumah produksinya di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Proses produksi sambal rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli di rumah produksinya di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).

Bukan untung yang didapat, Yuliana dan Murtala justru menimbun banyak utang. Saking tak tahu lagi harus berbuat apa, Murtala yang lulusan D3 Kesehatan pun sampai rela menjadi pemulung demi menghidupi istri dan kedua anaknya.

Beruntung, pada 2017, Yuliana dan Murtala masih dipercaya bekerja sebagai penyurvei dalam sebuah riset terkait inflasi bahan pangan pokok, salah satunya cabai. Pekerjaan inilah yang kemudian mempertemukan mereka dengan para petani dan segudang permasalahannya mengenai harga.

Kami pernah diusir karena dianggap hanya menghabiskan waktu mereka tanpa pernah bisa menyelesaikan permasalahan mereka. Waktu itu harga cabai rawit Rp 5.000 per kilogram dan tidak ada yang mau beli karena cepat busuk.

Sesampainya di lapangan, mereka dihadapkan kenyataan getir tentang cabai rawit yang hanya dihargai sebesar Rp 5.000 per kilogram (kg). Tak hanya itu, hasil panen para petani yang notabene menanam di dataran tinggi kerap lekas membusuk saat dibawa ke Kota Banda Aceh, sehingga jarang laku terbeli.

”Mereka (para petani) sampai bosan dengan pertanyaan kami. Bahkan, kami pernah diusir karena dianggap hanya menghabiskan waktu mereka tanpa pernah bisa menyelesaikan permasalahan mereka. Waktu itu harga cabai rawit Rp 5.000 per kilogram dan tidak ada yang mau beli karena cepat busuk,” kata Yuliana.

Dari perjumpaan dengan para petani itulah, Yuliana mulai merasa terusik. Pengalaman diusir oleh para petani masih membekas dalam ingatannya. Hingga pada satu titik, ia dan Murtala merasa selama ini tak berdaya memenuhi harapan para petani yang telanjur percaya kepada mereka.

Sambal rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli dijual di BSI UMKM Center Aceh di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Sambal rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli dijual di BSI UMKM Center Aceh di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).

Sontak, terbesit ide di benak Yuliana untuk membeli cabai rawit hasil panen para petani karena hanya dengan itulah mereka akan mendapatkan harga yang layak. Sebab, para petani tak muluk-muluk, mereka hanya ingin tahu berapa harga hasil panenannya saat mereka mulai mencangkul dan tanamannya berbuah.

Dari situ, Yuliana bersama suaminya mulai memperkenalkan kepada para petani mengenai harga pokok penjualan (HPP) hingga akhirnya ditemukan harga sekitar Rp 7.000-Rp 8.000 per kg. Atas dasar perhitungan itu, kemudian ditemukan harga yang selama ini didambakan para petani, yakni sebesar Rp 15.000 per kilogram.

Baca juga: Produk UMKM Kalsel Diminati Pasar Luar Negeri

Merintis capli

Bermodal nekat, akhirnya Yuliana merintis usaha sambal kemasan agar hasil panen para petani itu dapat terbeli dengan harga yang layak. Saat itu, modal awalnya hanya sebesar Rp 500.000. Dengan 10 kilogram cabai rawit dari petani secara cuma-cuma, ia bersama sang suami pun mulai meramu resep sambal hijau khas Aceh.

Berbeda dengan sambal pada umumnya, sambal hijau khas Aceh itu dibuat dengan menambahkan asam sunti, fermentasi dari belimbing wuluh. Selama dua tahun, mereka berkutat mencari formulasi sambal hijau dengan takaran rasa yang tepat dan mampu bertahan lama.

Yuliana, produsen sambal rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli di rumah produksinya di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Yuliana, produsen sambal rawit hijau dalam kemasan dengan merek Capli di rumah produksinya di Kota Banda Aceh, Aceh, Senin (12/8/2024).

Menurut Murtala, sambal cabai rawit khas Aceh memiliki cita rasa khas tersendiri dibanding sambal dari daerah lain. Ia juga tidak ragu jika produk buatannya mampu bersaing produk kemasan lainnya yang sudah terlebih dahulu dikenal oleh masyarakat, seperti saus kemasan dan sambal kemasan yang banyak ditemui di swalayan-swalayan.

Barulah pada 2019, sambal tersebut siap untuk dijual dengan masa kedaluwarsa hingga setahun. Tidak berhenti di situ, segala legalitas produk, seperti sertifikat BPOM, sertifikat halal, dan hak paten turut diupayakan hingga akhirnya bendera PT Rayeuk Aceh Utama menaungi usaha Yuliana dan Murtala dengan jenama Capli. Mula-mula Capli hanya memproduksi 60 botol dalam seminggu.

”Nama itu dipilih artinya bisa dua. Satu diambil dari bahasa Aceh, campli yang artinya cabai rawit. Dan, satu lagi bisa diartikan sebagai cabai pilihan,” tutur Murtala.

Selanjutnya, Capli mampu memproduksi sambal kemasan 15 kali dalam sebulan dengan menyerap total 200 kg cabai rawit dari para petani dan menghasilkan hingga 2.500 kemasan sambal. Cabai rawit tersebut diambil secara bergantian dari beberapa kelompok tani yang tersebar di tujuh desa yang berada di wilayah Banda Aceh dan satu desa di wilayah Aceh Besar.

Seorang petani sedang memanen cabai merah di lahannya di Desa Pinto Rimba, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Aceh, Kamis (16/11/2023).
KOMPAS/ZULKARNAINI

Seorang petani sedang memanen cabai merah di lahannya di Desa Pinto Rimba, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Aceh, Kamis (16/11/2023).

Selain itu, Capli juga turut memberdayakan sejumlah ibu-ibu rumah tangga untuk menyortir cabai rawit dan bawang putih. Mereka diberi upah sebesar Rp 2.000 per kg untuk cabai rawit dan Rp 3.000 per kg untuk bawang putih. Dalam sehari, para ibu itu bisa menyortir 20-30 kg cabai rawit. Artinya, mereka mendapatkan upah hingga Rp 60.000 per hari.

Seiring waktu berjalan, Capli perlahan mulai terpajang di rak-rak swalayan dan minimarket kenamaan di berbagai penjuru Provinsi Aceh. Ini tidak lepas dari upaya Yuliana yang terus meyakinkan para pengusaha ritel akan produk buatannya.

Waktu pandemi Covid-19, jalur distribusi itu terputus dan banyak produk-produk nasional yang enggak masuk ke sini gara-gara ada pembatasan akses. Kemudian, Capli kami antar keliling ke berbagai swalayan dan minimarket, ternyata laku keras di sana karena banyak masyarakat yang belanjanya borongan.

Iklan

Selain itu, momentum pandemi Covid-19 justru menjadi berkah tersendiri bagi Capli untuk mendapatkan panggung di kancah lokal. Apalagi, kenaikan harga pangan, khususnya cabai membuat masyarakat mencari alternatif yang lebih terjangkau, salah satunya sambal kemasan.

”Waktu pandemi Covid-19, jalur distribusi itu terputus dan banyak produk-produk nasional yang enggak masuk ke sini gara-gara ada pembatasan akses. Kemudian, Capli kami antar keliling ke berbagai swalayan dan minimarket, ternyata laku keras di sana karena banyak masyarakat yang belanjanya borongan,” ujar Yuliana.

https://assetd.kompas.id/1Y6MmOEXuKVQMcd25gnuZarHO1I=/1024x1024/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F10%2F24%2F20201024-H13-TCJ-Cabai-Hijau-mumed_1603549486_png.png

Infografik Cabai Hijau Saji

Meski menjadi berkah tersendiri, derasnya permintaan Capli di pasaran pada gilirannya membuat Yuliana dan Murtala sedikit kewalahan. Mereka pun terpaksa harus menginap di dalam ruko dengan diselimuti aroma pedas yang menyeringai sepanjang malam demi mengejar target produksi.

Saat produk Capli mulai menggeliat, harga cabai rawit sebagai bahan baku utama perlahan merangkak naik. Kondisi ini membuat Yuliana dan Murtala terus memperbarui kontrak setiap tahunnya dengan para petani sesuai dengan HPP yang berlaku.

Demi menjaga kelangsungan bisnisnya, mereka mencari tahu apa yang sebenarnya dialami oleh para petani di lapangan, sehingga membuat harga cabai rawit naik. Usut punya usut, ternyata kenaikan harga pupuk menjadi salah satu biang keladinya.

Di saat yang bersamaan, mereka mendengar keluh kesah rumah potong hewan (RPH) di suatu desa terkait limbah kotoran yang mulai meresahkan warga sekitar. Dari situ, Yuliana terpikirkan untuk menyelesaikan dua masalah itu sekaligus dengan menjadikan limbah kotoran dari RPH tersebut sebagai pupuk kompos.

”Pupuk itu kami kumpulkan dan didistribusikan kepada para petani. Jadi, bisa menyelesaikan dua masalah sekaligus. Dan, alhamdulillah, sekarang, penjualan pupuk itu sudah lumayan,” ujar Yuliana.

Warga memilih barang promo yang ditawarkan sebuah pasar swalayan di kawasan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (26/7/2024).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Warga memilih barang promo yang ditawarkan sebuah pasar swalayan di kawasan Cipayung, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (26/7/2024).

Selain itu, ia turut mengedukasi desa-desa mengenai pemanfaatan anggaran badan usaha milik desa (bumdes) sebesar 20 persen untuk ketahanan pangan. Apalagi, pemerintah daerah juga memberikan kucuran dana sebesar Rp 100 juta kepada desa yang dinilai berhasil dari sisi pemberdayaan masyarakat.

Sebab, bagi Yuliana, Capli sebagai produsen tidak hanya berurusan dengan jual-beli hasil bahan baku semata. Lebih daripada itu, kendala yang dialami para petani, seperti sumber daya manusia dan perihal pupuk turut menjadi tanggung jawab bagi produsen.

”Setiap mau ada perubahan harga, kami harus duduk bersama dengan para petani, apa yang menjadi masalah dan apa yang harus diambil solusinya. Jadi, tidak serta merta Capli langsung ambil kesimpulan harga tidak naik, tetapi apa yang mendasari harus naik, karena kami ingin membangun sistem kekeluargaan dan musyawarah,” tutur sarjana lulusan sistem informasi itu.

Baca juga: Presiden Ingatkan Pentingnya Peran UMKM bagi Perekonomian Nasional

Ke panggung global

Tak dinyana, perkenalan dengan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) membawa Capli sampai ke panggung global. Dalam business matching BSI International Expo 2024 pada Juni 2024 lalu, Capli berhasil kontrak ekspor dengan pembeli asal Malaysia sebanyak 29 ton.

Perkenalan Capli dengan BSI bermula dari ajang Talenta Wirausaha BSI pada 2022. Dalam ajang yang digelar setingkat nasional itu, Capli didapuk sebagai juara ketiga kategori berdaya sekaligus memperoleh kesempatan untuk bermitra dengan BSI.

Setiap mau ada perubahan harga, kami harus duduk bersama dengan para petani, apa yang menjadi masalah dan apa yang harus diambil solusinya. Jadi, tidak serta-merta Capli langsung ambil kesimpulan harga tidak naik, tetapi apa yang mendasari harus naik, karena kami ingin membangun sistem kekeluargaan dan musyawarah.

Dari situ, Yuliana memperoleh pembiayaan sebesar Rp 100 juta yang digunakannya untuk memperluas cakupan pasar Capli. Alhasil, kapasitas produksi Capli meningkat menjadi 5.000 botol per bulan. Sebagai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) binaan BSI, Capli tidak hanya mendapatkan fasilitas pembiayaan, melainkan juga pendampingan, pelatihan, serta bantuan promosi. Dengan bimbingan petugas BSI, manajemen dan keuangan Capli juga semakin baik. Hal ini pula yang membuat Yuliana memilih BSI sebagai mitranya dalam mengembangkan usaha.

Sampai Juni 2024, Yuliana memberanikan diri untuk ikut serta dalam ajang BSI International Expo 2024 di Jakarta. Ajang tersebut dikuti oleh para pembeli mancanegara yang berasal dari Arab Saudi, Malaysia, Uzbekistan, Kazahktan, Turki, Britania Raya, Uni Emirat Arab, Jepang, Bangladesh, Nepal, Qatar, dan Maroko.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin naik ke atas panggung untuk memberi arahan sebelum meresmikan pembukaan Bank Syariah Indonesia (BSI) International Expo 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (20/6/2024). Kegiatan yang akan berlangsung hingga Minggu (23/6/2024) ini diikuti 265 peserta pameran dari 18 negara.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)

Wakil Presiden Ma'ruf Amin naik ke atas panggung untuk memberi arahan sebelum meresmikan pembukaan Bank Syariah Indonesia (BSI) International Expo 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (20/6/2024). Kegiatan yang akan berlangsung hingga Minggu (23/6/2024) ini diikuti 265 peserta pameran dari 18 negara.

Setelah lolos kurasi, Capli lantas mengikuti tahapan business matching. Kala itu, Murtala berupaya meyakinkan istrinya untuk mendaftarkan diri dalam ajang tersebut. Apa pun hasilnya nanti, kata Murtala, setidaknya Capli sudah sempat diperkenalkan kepada beberapa negara.

Semula, terdapat dua negara yang ditargetkan, yakni Arab Saudi dan Malaysia. Namun, Yuliana merasa minder lantaran terkendala perihal bahasa. Alhasil, ia hanya mendaftarkan diri dengan pembeli yang berasal dari Malaysia.

”Saat nama Capli dipanggil, saya masih bengong. Antara sadar dan tidak sadar, saya maju ke depan untuk tanda tangan MoU (memorandum of understanding) kontrak 29 ton. Alhamdulillah, ternyata Capli diminati,” ujar Yuliana.

Begitu kembali Aceh, Yuliana beserta suami segera mengurus berbagai berkas administrasi terkait ekspor. Proses ini juga mendapatkan bantuan dan pendampingan dari BSI. Dari informasi yang diterima, ternyata, baru kali ini produk olahan makanan mendapatkan permintaan ekspor hingga satu kontainer.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengunjungi stan peserta usai meresmikan pembukaan Bank Syariah Indonesia (BSI) International Expo 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (20/6/2024). Kegiatan yang akan berlangsung hingga Minggu (23/6/2024) ini diikuti 265 peserta pameran dari 18 negara.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)

Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengunjungi stan peserta usai meresmikan pembukaan Bank Syariah Indonesia (BSI) International Expo 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (20/6/2024). Kegiatan yang akan berlangsung hingga Minggu (23/6/2024) ini diikuti 265 peserta pameran dari 18 negara.

Sebelum mendapatkan kontrak, Capli memang sudah berencana untuk memperbesar sayapnya dengan mendirikan pabrik. Gayung bersambut, impian untuk memiliki pabrik sendiri untuk meningkatkan produktivitas semakin nyata dengan adanya pesanan satu kontainer.

Murtala menyampaikan, dalam waktu dekat, produksi Capli akan segera pindah begitu pabrik segera dibangun. Dengan tambahan modal dari BSI menjadi sebesar Rp 200 juta, pabrik itu diharapkan dapat meningkatkan skala produksi dari 5.000 botol per bulan menjadi 2.000 botol per hari.

Anak tangga yang harus dilewati oleh Yuliana dan Murtala memang tidaklah mudah pun penuh dengan kejutan. Apa yang sebelumnya tak terbayangkan, ternyata seperti sudah digariskan sebelumnya. Siapa sangka pertemuannya dengan para petani yang mendatangkan kegelisahan, kini telah mengantarkan mereka ke panggung perdagangan global sebagai UMKM yang mengusuk produk lokal.

Baca juga: Wapres: Bank Syariah Harusnya Tampil Keren dan Jangan Kumuh

Editor:
MUHAMMAD FAJAR MARTA
Bagikan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 5 dengan judul "Panggung Global Sambal Capli Bermula dari Kegelisahan Nasib Petani Aceh".

Baca Epaper Kompas
Terjadi galat saat memproses permintaan.
Artikel Terkait
Belum ada artikel
Iklan