Suara mesin truk yang telah dimodifikasi menjadi penggerak alat pencacah kayu terdengar berisik. Suaranya memekakkan telinga orang di sekitarnya. Perbincangan jadi terganggu atau tidak terdengar jelas kecuali dengan berteriak.
Mesin tersebut dioperasikan para pekerja di sebuah gudang kayu di Batukliang, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024). Ada tiga pekerja yang sore itu menyelesaikan pekerjaannya.
Setelah mesin hidup, para pekerja kemudian memasukkan potong demi potong kayu dan ranting pohon ke mesin pencacah. Kayu tersebut didapat dari sisa produksi kayu olahan yang tak terpakai. Dari mesin itu, tersambung pipa paralon sepanjang tiga meter yang mengarah ke bagian bak terbuka pada truk yang posisinya lebih rendah.
Dari corong pipa, keluar serpihan kayu (woodchip)yang perlahan memenuhi truk. Di atas truk ada pekerja yang meratakan serpihan kayu serta memilah dan membuang jika ada ukuran potongan kayu yang terlalu besar.
Woodchip merupakan potongan kayu ukuran kecil. Serpihan kayu untuk biomassa ini nantinya akan dipasok ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Lombok Barat.
Di PLTU Jeranjang, serpihan kayu ini akan dicampur dengan batubara sebagai sumber pembangkit listrik tenaga uap. Pencampuran biomassa dengan batubara (co-firing) pada pembangkit listrik ini dinilai mampu meningkatkan catatan energi terbarukan dalam bauran energi kelistrikan.
Selain dari tempat pengolahan kayu seperti di Batukliang, biomassa untuk co-firing juga dipasok dari tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) RDF/SRF di kawasan Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok, Kecamatan Gerung, Lombok Barat.
TPST Kebon Kongok sudah dilengkapi dengan mesin pencacah kayu, ranting, plastik, dan daun. Di tempat ini pula sampah akan dipisahkan berdasarkan jenisnya, seperti sampah plastik, organik, dan non-organik.
Kompas juga berkesempatan mengunjungi PLTU Jeranjang pada awal Juni 2024 untuk melihat langsung penerapan co-firing ini. Di lokasi penyimpanan batubara atau coal yard ini dua alat berat sedang dioperasikan pekerja guna mencampur serpihan kayu dengan batubara. Campuran keduanya lalu dimasukkan ke dalam liang yang terdapat ban berjalan (conveyor belt) menuju ketel PLTU Jeranjang.
PLTU Jeranjang dengan kapasitas 3 x 25 megawatt (MW) telah menggunakan biomassa sebagai campuran batubara dalam co-firing sejak akhir 2021. Pembangkit listrik terbesar pada sistem kelistrikan Lombok tersebut setiap bulan menggunakan sekitar 800 ton biomassa, terutama jenis serpihan kayu. Hingga pertengahan Juni 2024, penggunaan maksimal biomassa di PLTU Jeranjang sebesar 7 persen.
Penggunaan biomassa sebagai campuran batubara secara langsung akan mengurangi konsumsi batubara. Perekonomian masyarakat juga akan terbantu, khususnya yang bisa mengolah limbah kayu menjadi barang yang bernilai secara ekonomi. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran permintaan biomassa berbahan baku kayu yang kian besar bakal memengaruhi kondisi hutan-hutan di Indonesia.