Pemilu 9 Negara G20 Berisiko Makin Perlambat Pertumbuhan Ekonomi Global
Pemilu yang digelar Indonesia dan delapan negara anggota G20 pada 2024 akan mengubah lanksap politik global.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha di dalam negeri perlu mewaspadai perubahan lanskap politik dunia yang akan sangat memengaruhi peta kebijakan ekonomi global. Terlebih sebanyak sembilan negara dari 20 negara anggota G20, yang merepresentasikan 75 persen perdagangan global dan 80 persen produk domestik bruto dunia, akan melaksanakan pemilihan umum pada tahun ini.
Salah satu dari kesembilan negara tersebut adalah Indonesia yang pemilihan umumnya akan berlangsung pada 14 Februari 2024. Negara lainnya meliputi Rusia (Maret 2024), Korea Selatan (April 2024), India (April dan Mei 2024), Meksiko (Juni 2024), Uni Eropa (Juni 2024), Afrika Selatan (Juni 2024), Amerika Serikat (November 2024), dan Inggris Raya (November-Desember 2024).
Apa pun yang kita punya tahun lalu dalam kebijakan G20, mungkin kebijakannya akan berubah karena proses pemilu dari sembilan negara ini.
CEO Citi Indonesia Batara Sianturi memaparkan, adanya pemilu yang berlangsung membuka potensi adanya perubahan kebijakan fiskal dan kebijakan perdagangan di sembilan negara G20 tersebut. Akumulasi produk domestik bruto (PDB) di sembilan negara G20 yang melangsungkan pemilu pada 2024 itu mencapai 50 persen dari PDB dunia.
”Jadi, apa pun yang kita punya tahun lalu dalam kebijakan G20, mungkin kebijakannya akan berubah karena proses pemilu dari sembilan negara ini,” papar Batara dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Jumat (26/1/2024).
Bank Dunia sebelumnya telah memproyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2024 akan melambat ke level 2,4 persen. Ini lebih rendah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2023 sebesar 2,6 persen.
Perlambatan ekonomi dunia pada 2024 merupakan dampak kebijakan moneter ketat yang ditempuh negara-negara maju untuk mengendalikan inflasi. Imbasnya, aktivitas investasi global akan ikut terhambat.
Indonesia perlu memperluas kemitraan dengan negara-negara baru karena kita tidak bisa hanya mengharapkan mitra negara tradisional.
Masih berlanjutnya tren suku bunga tinggi tahun ini, masih menurut Batara, merupakan konsekuensi dari inflasi yang masih relatif tinggi dipicu kenaikan harga bahan pokok akibat El Nino yang mengganggu pasokan di pasar komoditas. Berlanjutnya konflik geopolitik, terutama di Timur Tengah, juga termasuk faktor pemicu dalam hal itu.
Suku bunga yang lebih tinggi akan membuat pinjaman lebih mahal. Kondisi ini akan menghambat pengeluaran dan investasi karena investor cenderung akan memilih menyimpan uang di lembaga perbankan dengan risiko yang rendah.
”Melihat kondisi ini Indonesia perlu memperluas kemitraan dengan negara-negara baru karena kita tidak bisa hanya mengharapkan mitra negara tradisional. Terlebih sembilan negara dari G20 akan punya pemilu. Potensi kebijakan-kebijakan baru yang akan memengaruhi peta ekonomi global perlu diantisipasi,” ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menilai, Indonesia tidak bisa hanya berharap pada negara mitra dagang tradisional seperti China dan AS yang mengalami perlambatan ekonomi.
Adanya perlambatan permintaan global telah tecermin dari neraca perdagangan Indonesia yang meskipun masih surplus mulai menunjukkan penurunan kinerja ekspor.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai ekspor Indonesia pada Januari-Desember 2023 sebesar 258,82 miliar dollar AS. Ini turun 11,33 persen dibandingkan dengan ekspor 2022 senilai 275,96 miliar dollar AS.
Baca juga: Perlamabatan Ekonomi Global Tekan Ekspor Indonesia 2023
Kontributor ekspor masih didominasi oleh ekspor nonmigas senilai 242,89 miliar dollar AS atau 93,85 persen dari total ekspor. Sisanya berasal dari ekspor migas senilai 15,92 miliar dollar AS.
Guna mendorong ekspor tahun ini, Apindo telah membantu pemerintah terlibat dalam proses pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Ekspor Nasional. Tugas tim adalah mengidentifikasi negara-negara dunia sebagai target baru tujuan ekspor Indonesia.
”Kita identifikasi apa saja keunggulannya, bagaimana kita bisa mendiversifikasi pasar, serta instrumen apa yang dibutuhkan mencakup ekosistem pembiayaan dan regulasi untuk mendukung ekosistem ekspor nasional,” ujar Shinta.